Waspadai Sindrom FOMO, Khususnya untuk Para Remaja

Media sosial memang sulit dilepaskan dari kehidupan individu, khususnya remaja. Seakan menjadi bagian yan tidak terpisahkan dalam kehidupan remaja. Pesatnya perkembangan media sosial membuat para penggunanya tidak ingin ketinggalan informasi terbaru.

Rasa ingin tahu yang besar membuat remaja berusaha untuk selalu up to date. Sering kali remaja merasa khawatir ketinggalan berita dan gelisah bila tidak segera mengikuti tren di dunia maya. Rasa takut akan tertinggal oleh perkembangan informasi di media sosial dikenal dengan istilah Fear of Missing Out, atau FOMO.

FOMO dapat menyebabkan remaja lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain media sosial. Karena para remaja merasa takut tertinggal dengan perkembangan jejaring sosial, tertinggal informasi mengenai orang lain. Bahkan ada yang takut dikucilkan secara sosial.

FOMO juga didefinisikan sebagai kecemasan dan ketakutan individu akan tertinggal apabila orang lain melakukan. Atau merasakan sesuatu yang lebih baik dan lebih menyenangkan daripada apa yang ia lakukan atau miliki. Selain itu, FOMO juga memiliki konsekuensi bagi kesehatan, terutama kesehatan mental. Sering kali dikenal dengan istilah sindrom FOMO merujuk pada sindrom kecemasan sosial. Hal ini ditandai dengan keinginan untuk selalu terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain.

Apakah saya ataupun anda termasuk orang yang memiliki sindrom FOMO?

Berikut adalah ciri-ciri sindrom FOMO :

  • Berasumsi bahwa orang lain lebih bahagia dan menikmati hidup mereka daripada apa yang kita alami.
  • Selalu merasa tertinggal tren dan tidak mampu melakukan seperti yang orang lain lakukan.
  • Perasaan kehilangan sesuatu yang dirasa penting sehingga membuat hidup selalu terasa kurang.

Pemikiran dan anggapan seperti itu bisa muncul pada saat dan setelah melihat postingan orang lain di media sosial.

Waspada terhadap Bahaya Sindrom FOMO

Syndrom FoMO ini dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sebagai contoh, orang berselancar di dunia maya sambil mengemudi. Atau ketika menghadiri pertemuan penting malah sibuk sendiri bermain media sosial.

Individu cenderung berlebihan menggunakan media sosial. Terlalu sering mencoba menjawab lelucon dalam obrolan grup dan mengikuti gaya hidup orang lain di media sosial meskipun itu tidak sesuai dengan kepribadiannya. Oleh karena itu, FoMO juga diasosiasikan dengan individu yang memiliki autonomy rendah. Dengan kata lain, individu cenderung tidak memiliki kemampuan untuk memilih sesuatu berdasarkan dirinya sendiri.

Contohnya pada tahun 2018, saat itu seluruh dunia dihebohkan dengan Kiki Challenge yang pada akhirnya pihak berwajib melarang tren ini. Kiki Challenge adalah sebuah tantangan video dance yang diiringi lagu Drake-In My Feelings. Tantangan itu mengharuskan seseorang untuk melompat keluar dan menari di samping pintu mobilnya yang terbuka dalam kondisi mobil bergerak. Rekan lain di dalam mobil bertugas merekam aktivitas tersebut. Hal tersebut membuat polisi menjadi geram karena dapat membahayakan nyawa dan mengganggu pengguna jalan lainnya.

Baca juga: Melawan FOPO Lewat Self-Awareness

Individu yang memiliki sindrom FOMO yang tinggi rentan terhadap kecemasan, harga diri yang rendah, dan ketidakberdayaan. Selain itu, individu yang mengalami perasaan FOMO yang intens dapat mempengaruhi badan. Seperti peningkatan kelelahan, stres yang berlebih, masalah tidur dan gejala fisik. Hal bisa terjadi karena individu yang melihat konten orang lain secara emosional percaya bahwa orang lain lebih bahagia, lebih sukses, dan lebih positif daripada kehidupannya sendiri.

Lalu, Bagaimana Cara Mengatasi Sindrom FOMO?

  1. Lawan FOMO dengan mengubah pola pikir, kita dapat menggunakan diksi lain. Misalnya, FOMO adalah “Feel Okay More Often
  2. Kendalikan diri dan kurangi penggunaan media sosial. Sadari bahwa berinteraksi secara langsung lebih menyenangkan.
  3. Menyadari bahwa FOMO didasarkan pada kebohongan. Seseorang yang mem-posting aktivitasnya di media sosial telah mengkurasi aktivitas mana saja yang akan dibagikan. Dengan kata lain, apa yang kita lihat belum tentu sesuai dengan keadaan realitanya. Jadi kita tidak boleh iri dengan hal tersebut.
  4. Isi waktu luang dengan kegiatan yang lebih bermanfaat dan tingkatkan hubungan sosial bersama keluarga, teman, atau masyarakat sekitar.
  5. Terapi kognitif, ketika perasaan cemas berlebih mengganggu aktivitas kita sehari-hari maka tidak ada salahnya untuk meminta pertolongan profesional.

Dari penjelasan di atas, semoga kita bisa tahu apakah saat ini sedang mengalami FOMO juga atau tidak. Jika iya, yuk kita lawan dan fokus pada pengembangan diri masing-masing! Ubah Fear of Missing Out-mu menjadi Feel Okay More Often.

Editor: Rifki Elindawati

Fransiska Minanta Putri
Mahasiswa Jurusan Manajemen UMY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *