Tidak ada yang berbeda, sama seperti siang hari biasanya. Terik dan semua orang sibuk dengan isi kepalanya masing-masing. Namun, kali ini ada yang berbeda. Siang itu kami meluncur membelah perbukitan Kulon Progo. Terik seolah bersembunyi di balik rimbun pohon, di tambah hamparan hijau yang memanjakan setiap pasang mata. Ini adalah perjalanan kali pertama saya ke Desa Wadas yang selama ini hanya mendengar beritanya di media. Kini setidaknya saya berhasil menggerakkan kaki dan mengusik acuh diri untuk datang langsung ke sana.
Baliho-baliho Perlawanan
Sebelum memasuki wilayah Desa Wadas, saya dan kawan-kawan yang berangkat sudah diperingatkan untuk berhati-hati dalam bersikap. Karena tidak semua warga Wadas menolak pembangunan tambang. Namun, bukannya tak mengindahkan peringatan, tapi kenyataan yang kami temui berbanding terbalik. Pasalnya, Desa Wadas yang begitu asri seolah menyimpan ketenangan bagi jiwa yang menghirup udara di sana selaras dengan warganya yang ramah tiap kali kami bertanya arah jalan.
Beberapa meter setelah kami berpapasan dengan plang bertulis Desa Wadas, tampak terlihat di kejauhan posko yang sudah sigap berdiri dan di kelilingi bapak-bapak paruh baya dan anak muda berseragam ‘satgas save wadas’. Pun baliho-baliho bergambar dan bertuliskan perlawanan tersebar di setiap sudut mata. Dalam hati saya bergumam, “di sinilah jantung perlawanan Wadas.”
Kuliah Bersama Rakyat
Kuliah Bersama Rakyat di Desa Wadas tidak hanya dihadiri warga saja, saya temui banyak perwakilan mulai dari mahasiswa dan dosen dari berbagai universitas, hingga lembaga swadaya masyarakat. Pak Busyro Muqoddas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengawali dengan rasa empatinya yang begitu mendalam atas cobaan yang Tuhan berikan kepada Desa Wadas. Menurut Pak Busyro, kehadiran aparat negara yang datang tanpa pamit, bukanlah aparat, bahkan bukan pula manusia karena tidak tau etika saat bertamu. Selanjutnya, hadir pula Mbah Marsono selaku perwakilan warga Wadas yang angkat bicara.
“Apakah kita salah melindungi alam ini? Kok kita malah dihina dan dipukuli? Apakah kita salah jadi petani di desa ini? Mudah-mudahan kita tidak takut untuk melawan apa yang kita anggap benar.” Ujar Mbah Marsono yang dapat saya rasakan segumpal keberanian di dalam dirinya dan bara perjuangan yang bergitu menyala. Setelah Mbah Marsono selesai, moderator turut menimpali.
“Alam di Wadas adalah milik warga Wadas, tetapi datang tamu yang hendak mengganggu keseimbangan alam. Merampas apa yang menjadi hak.”
“Maling!” Teriak dari kursi peserta.
Warga Wadas lainnya yaitu Mbak Anis, sebagai perwakilan suara perempuan turut ambil peran. Ibu-ibu yang sejak awal mendengar rencana pertambangan di desa, saling kumpul dan berkeluh kesah terkait alasan penambangan di desa dan dampak-dampaknya. Menurut Mbak Anis, ibu-ibu Wadas juga mau berjuang membersamai bapak-bapak dan anak-anak muda, serta mempertahankan ruang hidup yang secara turun temurun memberikan berkah yang luar biasa.
“Belum lagi, kejadian tanggal 23 April dan 8 Februari lalu masih menyisakan trauma karena aparat datang semena-mena memukuli suami, anak, dan saudara-saudara kami tanpa kasihan dan sewenang-wenang. Kawal kasus Wadas sampai tuntas dan menang. Kami ingin dikenal oleh anak dan cucu sebagai pejuang lingkungan yang mempertahankan hak dan ruang hidup. Bukan diingat sebagai perusak alam.” Ujar Mbak Anis yang tanpa saya sadari telah berhasil meloloskan butir air mata yang sejak awal saya tahan agar tidak kabur dari penjaranya.
Sahut-sahutan Penuh Bara
Pemateri selanjutnya datang dari akademisi Institut Pertanian Bogor, Ibu Rina Mardiana, yang turut mengalirkan listrik perlawanan dan perjuangan. Ujar Ibu Rina, terdapat propaganda di luar sana yang bilang kalau tanah di Wadas gersang, sehingga harus ditambang biar alamnya produktif. Mendengar kalimat ini saya terhentak, propaganda bodoh macam apa yang bilang seperti itu. Ibu Rina juga kembali mengingatkan akan kejadian di Tuban perihal warganya yang menerima uang kompensasi pembangunan, tergiur kekayaan mendadak, namun sengsara kemudian.
“Kita ini sudah merdeka atau belum?”
“Belum!” Teriak peserta.
“Makin menderita malah.” Celetuk salah satu warga.
“Kita sedang menjajah negara kita sendiri, supaya kita bergantung pada pangan impor.”
“Betul!”
“Kalau aparat datang lagi, gak takut? Berani? Masih mau berjuang sekalipun dalam waktu yang panjang?”
“Mau! Kalau aparat datang, kami tetap berani!”
Sahut-sahutan antara Bu Rina dan peserta menyadarkan saya bahwa inilah yang disebut keberanian, perjuangan, dan perlawanan sesungguhnya. Hina sekali manusia yang tunduk pada kedzoliman dan menutup mata pada kebenaran.
Terakhir, sesi narasumber di tutup oleh Pak Herlambang dari Universitas Gadjah Mada yang menyelipkan apresiasi pada Kuliah Bersama Rakrat. Sekaligus kekhawatirannya pada dunia kampus menjadi wadah pembangunan otoriter, di mana hal itu dimulai ketika manusia ditempatkan sebagai objek eksploitasi pembangunan.
Duduk Bareng Pro dan Kontra
Ketika seluruh rangkaian sesi pemaparan dari narasumber selesai, saya baru sadar bahwa Kuliah Bersama Rakyat ini tampak kurang jika yang dihadirkan hanyalah sisi yang melawan saja. Rasanya akan lebih menarik ketika yang mendukung pembangunan kawasan tambang, termasuk aparat, juga diundang duduk bersama. Gimana? Terdengar mustahil dan utopis, ya? Ya sudahlah. Yang pasti, perjuangan mempertahankan keseimbangan alam tetap yang utama. Hidup rakyat! Save Wadas!
Baca juga: Barisan Kucing-kucing Air Senayan
Leave a Reply