Sepak Bola vs Nyawa: Mengapa Harus Gas Air Mata?

Ingatkah kalian tragedi beberapa bulan silam, tepatnya Sabtu malam, 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur. Tragedi dalam dunia sepak bola yang memakan korban ratusan suporter Arema atau Aremania menjadi bencana yang mengerikan bagi Indonesia.

Jumlah korban yang meninggal akibat Tragedi Kanjuruhan muncul sebagai “tiga besar bencana sepak bola” dalam skala global. Penggunaan gas air mata di dalam stadion oleh aparat keamanan untuk membubarkan massa diduga menjadi penyebab banyaknya korban. Kejadian yang bermula dari kekalahan Arema FC melawan Persebaya dengan skor 2-3 menjadi pemicu tragedi di Stadion Kanjuruhan tersebut. Kekecewaan pendukung yang tidak dapat dibendung memunculkan protes setelah pertandingan. Protes yang kemudian berubah menjadi amukan pendukung mulai tidak terkontrol dan akhirnya petugas keamanan memutuskan untuk menggunakan gas air mata.

Tentu saja kejadian tersebut banyak menuai kecaman dari berbagai pihak. Bahkan Federation Internationale de Football Association (FIFA) memiliki prinsip melarang penggunaan senjata dan gas (swarm gases). Korban jiwa di Kanjuruhan Malang baru-baru ini disebut telah menyentuh 174 orang. Namun dengan dalih dugaan pendaftaran ganda, pemerintah dan kepolisian kemudian mengoreksi dan menetapkannya menjadi 135 pendukung dan ratusan orang lainnya luka-luka (ringan hingga berat).

Penggunaan gas air mata oleh pihak kepolisian di stadion yang penuh sesak menjadi salah satu sorotan yang diduga menjadi penyebab tewasnya ratusan korban Tragedi Kanjuruhan. Ketika penonton Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, termasuk yang berada di tribun berusaha menghindari gas air mata polisi disemprot. Polisi dikritik karena menembakkan gas air mata tidak hanya ke lapangan tempat suporter turun tetapi juga ke tribun. Banyak di antara mereka yang berusaha keluar stadion karena tembakan gas air mata ke tribun. Namun pintu tribun yang kecil tidak cukup untuk menampung pendukung yang berdesakan keluar tersebut.

Mengapa Harus Gas Air Mata?

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab Tragedi Kanjuruhan adalah penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian. Walaupun penggunaan gas air mata sudah jelas dilarang oleh FIFA. Menurut Pasal 19B peraturan pelaksanaan keselamatan dan keamanan, senjata api atau gas pengendali massa tidak boleh dibawa atau digunakan. Gas air mata dilarang baik di dalam maupun di luar ruangan karena berisiko terhadap kesehatan, terutama indera penglihatan dan pernapasan. Setelah itu, banyak diskusi tentang penggunaan gas air mata di stadion sesuai dengan standar operasi prosedur atau tidak. Kadiv Humas POLRI Irjen Dedi prasetyo menananggapi akan hal itu. “Materi yang didalami tentunya eskalasi-eskalasi yang terjadi di lapangan dengan SOP yang ada tentunya di dalami oleh tim’’.

Lantas pertanyaan selanjutnya adalah SOP mana yang dimaksud?, sudah jelas penggunaan gas air mata dilarang keras oleh FIFA. Dalam masalah ini, bahkan pihak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan tragedi kanjuruhan sebagai peristiwa pelanggaran Hak HAM. Dikatakan demikian sebab penggunaan gas air mata” secara berlebihan “ menjadi satu dari tujuh pelanggaran HAM yang terjadi. Tentu ini perlu dipikirkan bersama ketika pertandingan yang seharusnya memicu prestasi berakhir menjadi tragedi.

Sepak Bola vs Nyawa

Di Indonesia, sepak bola merupakan salah satu olahraga yang paling digemari. Olahraga ini dimainkan oleh orang-orang dari segala usia, dari anak-anak dan laki-laki hingga remaja paruh baya. Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, liga sepak bola Indonesia didirikan sekitar tahun 1930 hingga saat ini yang lebih di kenal BRI Liga 1 indonesia .

Kalau kita bicara tentang sepak bola Indonesia mungkin tidak luput dari yang namanya sebuah kerusuhan. Selalu ada saja pendukung yang kecewa setiap akhir pertandingan sepak bola. Ada yang menahan kekecewaan itu. Namun tidak sedikit yang melampiaskan kekecewaan tersebut dengan bersikap brutal. Seperti melakukan protes keras dan vandalisme di stadion. Seharusnya hal-hal seperti ini dapat diantisipasi oleh pihak penyelenggara. Namun tetap sesuai dengan aturan dan SOP yang berlaku.

Baca juga: Wadas Melawan: “Kami belum merdeka! Justru semakin menderita.”

Pada kejadian Tragedi Kanjuruhan beberapa bulan lalu, kerusuhan sepak bola memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Penonton yang semula datang ke stadion untuk menunjukkan dukungan mereka kepada tim favoritnya berubah menjadi tragedi. Tidak sedikit juga yang berdalih mencari hiburan bersama beberapa anggota keluarga atau temannya namun berakhir dengan kematian. Kejadian seperti ini harusnya jadi pengingat kepada semua pihak yang terkait bahwa masih banyak yang harus dibenahi dari dunia sepak bola Indonesia. Pihak-pihak terkait juga perlu melakukan evaluasi secara menyuluruh agar kejadian seperti ini tidak akan terjadi di masa depan.

Editor: Rifki Elindawati

Surya Nusa Ibrahim
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *