Sensualitas Perempuan dalam Jeratan Ajang Konten Pornografi di Media Sosial

Menelanjangi tubuh perempuan di ruang publik media sosial menjadi sebuah perkara yang kini nampak biasa di mata warganet. Media sosial telah menjadi kampung artifisial yang memiliki akses kebebasan tanpa mengenal arena dan ritme. Celakanya, keleluasaan tersebut justru menjadikan ruang aman bagi perempuan semakin sempit sebagai konsekuensi atas merajalelanya digitalisasi. Realistis saja, Twitter menjadi sedikit dari sekian banyak media sosial yang menjadi medan untuk men-seksualitas tubuh perempuan. Kecepatan akses informasi melalui tagar trending membuat kecepatan konten pornografi semakin mudah diakses. Seringkali kita juga melihat narasi-narasi seksis yang mendiskreditkan perempuan dengan sebutan pemersatu bangsa.

Istilah “pemersatu bangsa” tentunya tidak dimaknai secara harfiah. Namun lebih kepada tujuan untuk menegaskan pada konten perempuan seksi yang kemudian menjadi ruang berkumpulnya laki-laki untuk terus menarasikan komentar negatif. Dampaknya, setiap kita mendengar termin “pemersatu bangsa” maka akan lekat dengan label perempuan seksi. Jika itu terus dilanggengkan, bukan tak mungkin generasi penerus akan memotret fenomena sosial dengan warisan pengetahuan yang telah dikonstruksi, yakni pemersatu bangsa sebagai legitimasi perempuan seksi. Padahal, jika kita mau meng-cross check sedikit mendalam saja, sebenarnya frasa pemersatu bangsa adalah sesuatu yang fundamental yang bersinggungan dengan bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan sebagai alat pemersatu bangsa seperti yang terpatri di UU RI No.24 tahun 2009.

Tak hanya di Twitter, raja media sosial TikTok juga telah menjadi wadah kejumudan konten yang menjurus 18+. Meskipun tidak bisa dikhianati bahwa TikTok juga membawa percikan-percikan pengetahuan yang kebermanfaatannya bisa dirasakan. Keinginan cepat viral menjadi salah satu landasan para kreator TikTok mengamini berbagai cara termasuk berpakaian minim untuk menyentak animo masyarakat yang aktif berselancar di media sosial. Komersialisasi tubuh perempuan akhirnya tak bisa dihindari. Hal itu bisa dilihat dari masifnya produk iklan  maupun endorse dengan memampangkan tipe wanita-wanita cantik dengan standarisasi yang sebenarnya diciptakan oleh konstruksi media sosial itu sendiri.

Baca juga: Pacu Strategi Digital Marketing, Aplikasi TikTok Semakin Diminati

Aktor-aktor media sosial disuguhi fasilitas gratisan, sehingga dengan hanya sekali ‘klik’ maka sajian konten pornografi sudah bisa dikonsumsi. Bigo Live menemukan ruang kenyamanannya untuk menampakkan konten berbau pornografi sebagai menu utama. Lagi-lagi tanpa merasa malu para wanita dengan sesumbar merelakan tubuhnya menjadi konsumsi followers-nya. Tak bisa disangkal, hal itu terjadi karena Bigo Live memberikan suatu keuntungan materi jika sang penyiar mendapatkan gift yang bisa bernilai tukar rupiah. Pertukaran antara nilai rupiah dengan tubuh wanita menjadikan Bigo Live semakin digandrungi berbagai kalangan. Hukum aksi reaksi menjadi begitu kentara di aplikasi Bigo Live. Orang melakukan aksi pancingan dengan konten hot dan kemudian mendapatkan reaksi berupa gift sebagai bentuk apresiasi.

Motif bermedia sosial seperti itu akan mendistorsi fungsi media yang telah mematikan rasionalitas nurani kolektif. Secara perlahan dan tidak sadar orang akan terhegemoni melakukan tindakan yang serupa akibat pemakluman atas penyimpangan yang berada di domain media sosial. Alhasil, kemajuan teknologi secara halus telah memanuver paradigma umat manusia dalam berpikir, berkomunikasi, dan bertindak. Meminjam perkataan Antonio Gramsci bahwa pertarungan paling berbahaya di abad ini adalah hegemoni ideologi. Ideologi siapa yang paling kuat maka kemungkinan besar dapat mengendalikan keadaan sosial yang ada. Begitupun ketika berbicara media sosial, banyak sekali ideologi terselubung yang berusaha menguasai opini publik guna mendapatkan atensi masyarakat digital.

Perkembangan sains dan teknologi perlu disadari akan berimbas pada terpuruknya ilmu pengetahuan berbasis akhlak dan adab. Seyogyanya kita berusaha untuk mengembalikan nilai-nilai kebenaran sejati sebagai pijakan dalam praksis bermedia sosial. Apalagi jika bertautan dengan perempuan yang seringkali menjadi objek seksualitas di media sosial maka netizen perlu memfilter gaya bermedsos yang lebih bijak. Begitupun perempuan sebagai subjek juga harus berusaha menjaga marwah karena perempuan diidentikan sebagai madrasah peradaban pertama bagi anak-anaknya. Dari perempuanlah lahir generasi yang kelak akan merekonstruksi peradaban yang lebih progresif. Mungkin objektivikasi tubuh perempuan di media sosial dianggap hal sepele, padahal dari situ kita bisa melihat cermin suri tauladan bagi anak-anak kita nanti.

CATATAN: Tulisan ini adalah karya pemenang Juara 2 dari Lomba Menulis Artikel Populer Narasi Nara tahun 2023

(Editor: Moh Andy Iqbal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *