Sebelum Bicara Resesi, Kenali Dulu Apa Itu Resesi

Istilah resesi ekonomi akhir-akhir ini sering menjadi trending topik di media massa. Mulai dari YouTube, Instagram, Facebook, Whatsapp, surat kabar, televisi, radio dan lain-lain membahas mengenai resesi. Ditambah dengan Presiden Joko Widodo yang menghimbau masyarakat untuk hati-hati dalam menghadapi resesi ekonomi yang kemungkinan akan terjadi pada tahun 2023. Hal ini memicu kekhawatiran bagi masyarakat dan perusahaan dalam menghadapi resesi ekonomi yang mungkin akan terjadi.

Apa itu Resesi?

Resesi Ekonomi adalah suatu depresiasi atau penurunan kegiatan ekonomi yang terjadi secara signifikan dan menyebar di semua bidang perekonomian. Terjadinya resesi ekonomi ketika jumlah pengangguran dalam suatu negara meningkat, perdagangan ritel menurun, produk domestik bruto (PDB) negatif, tingkat suku bunga naik, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut. Penurunan kegiatan perokonomian ini menjadi sesuatu yang dihindari oleh masyarakat dan perusahaan.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menjelaskan bahwa kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja. Beliau juga menyebutkan, Yen Jepang telah mengalami depresiasi 25,8%, Renminbi China mengalami depresiasi 12,9%, dan Lira Turki mengalami depresiasi 38,6%. Pelemahan mata uang negara terhadap dolar Amerika juga terjadi di negara tetangga Indonesia seperti Malaysia yang terdepresiasi 10,7%, Baht Thailand terdepresiasi 14,1%, dan Peso Filipina terdepresiasi 15,7%. Sementara nilai tukar rupiah, dalam periode yang sama, hanya mengalami depresiasi 6,1%.

Mengapa Terjadi Resesi?

  1. Terlalu banyak inflasi

Inflasi adalah tren harga yang bergerak terus menerus dan meningkat dari waktu ke waktu. Inflasi sebenarnya tidak buruk, tetapi inflasi yang berlebihan bisa sangat berbahaya. Inflasi jangka panjang dapat menyebabkan gejolak dalam resesi ekonomi. Oleh karena itu, bank sentral harus mampu mengendalikan inflasi dengan cara menaikkan suku bunga untuk menahan aktivitas perekonomian negara.

  1. Adanya deflasi yang berlebihan

Adanya inflasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan resesi, begitupun deflasi. Deflasi dapat memberikan dampak yang lebih buruk daripada inflasi. Deflasi adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan harga dalam suatu periode waktu. Penyebab deflasi adalah pertumbuhan produksi beberapa perusahaan secara bersamaan, penurunan permintaan produksi produk dan penurunan jumlah uang di pasar.

  1. Guncangan ekonomi secara tiba-tiba

Guncangan ekonomi yang terjadi secara tiba-tiba menimbulkan masalah ekonomi yang serius termasuk resesi. Contohnya seperti beberapa tahun lalu terjadi guncangan ekonomi yang diakibatkan pandemi covid yang melanda seluruh dunia. Seluruh negara di dunia merasakan dampak pandemi covid terhadap perekonomian. Dilansir dari Badan Pusat Statistik, Indonesia mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi minus 3,49% pada kuartal III 2020. Yang berarti perekonomian Indonesia terkena dampak dari guncangan ekonomi akibat pandemi covid.

  1. Pesatnya perkembangan teknologi

Teknologi mempermudah kita dalam melakukan aktivitas. Perkembangan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dalam suatu kegiatan produksi. Tetapi, perkembangan teknologi yang terlalu pesat ini dapat menimbulkan resesi ekonomi. Hal ini disebabkan karena tergantikannya peran manusia dalam kegiatan produksi yang pada akhirnya  memicu pengangguran masal dan terjadilah resesi ekonomi.

Pengaruh Resesi Ekonomi terhadap Bisnis Digital

Pada tahun 2020 atau pada saat pandemi covid, penggunaan media sosial dan aplikasi belanja online berkembang pesat. Riset yang dilakukan SIRCLO bersama Katadata Insight Center menyebutkan bahwa 17,5% masyarakat berpindah berbelanja dari offline ke online. Peningkatan pelanggan yang berbelanja secara online pun cukup besar. Dari awalnya hanya 11% meningkat menjadi 25% pada tahun 2021. Adanya peningkatan tersebut membuat perusahaan startup digital melakukan perekrutan karyawan secara besar-besaran dalam memanfaatkan momen pertumbuhan yang gila-gilaan selama tahun 2020 sampai 2021. Para investor juga menyuntikkan dana yang tidak sedikit kepada perusahaan start up. Karena, menurut pemikiran mereka pada saat itu investasi yang dapat berkembang selama beberapa tahun ke depan. Alhasil, pertumbuhan investor sangat tinggi pada saat itu.

Perusahaan start up yang sudah memprediksi market akan berkembang terus menerus mengharuskan mereka merekrut karyawan yang lebih banyak lagi guna mengantisipasi perkembangan market yang lebih tinggi pada tahun-tahun selanjutnya. Seperti halnya Shopee yang merekrut banyak karyawan pada saat pandemi. Menurut data iPrice, pada kuartal I 2020 Shopee memiliki karyawan 4.000 orang. Kemudian di kuartal berikutnya jumlah karyawannya terus meningkat mencapai 12.322 orang pada kuartal III 2021. Namun, jumlah karyawan Shopee berkurang drastis menjadi 6.193 orang pada kuartal IV 2021. Jumlah karyawan Shopee Indonesia menurun pada kuartal IV 2021 atau kuartal I 2022. Tampaknya PHK massal ini terpaksa dilakukan demi meningkatkan efeisiensi dan mengurangi biaya operasional perusahaan. Seperti diketahui, jika mengacu pada laporan finansial kuartal-I 2022, Sea Group, induk perusahaan Shopee, mencatat kerugian bersih senilai 931 juta dolar AS atau sekitar Rp 13,9 triliun.

PHK Masal Perusahaan Baru

Selain alasan kerugian tersebut, PHK massal dilakukan karena perusahaan baru menyadari bahwa perkembangan bisnisnya tidak begitu pesat seperti pada saat pandemi tahun sebelumnya. Pertumbuhan perusahaan tidak menurun, tetapi melambat kembali lagi seperti keadaan sebelum pandemi. Dimana profitabilitas perusahaan tidak mencukupi untuk membayar gaji karyawannya yang sangat banyak.

Perusahaan bisa saja menutupi kekurangan pembayaran gaji karyawan menggunakan modal perusahaan asalkan perusahaan memiliki modal yang banyak. Akan tetapi, setelah mengetahui keterangan pers Presiden Joko Widodo dan Mentri Keuangan yang menjelaskan jika pada tahun 2023 akan terjadi resesi ekonomi global dan kondisi ekonomi dunia semakin gelap, investor menjadi lebih hati-hati dan selektif dalam menaruh uang. Suku bunga semakin naik yang menjadikan mereka lebih memilih menempatkan uang mereka di tempat yang aman meskipun memiliki return yang kecil dan menghindari perusahaan yang beresiko tinggi seperti perusahaan start up.

Hati-hati Terhadap Keadaan Ekonomi Mendatang

Beberapa hal tersebut menjadi alasan mengapa perusahaan start up tidak memiliki cukup uang untuk membayar gaji karyawannya, sehingga mereka melakukan PHK besar-besaran untuk menekan biaya operasional perusahaan. Ingat selalu kata presiden kita, “hati-hati” selalu ditekankan beliau agar kita senantiasa mawas diri terhadap keadaan ekonomi yang akan datang. Menyiapkan berbagai rencana, strategi, dan cara agar kita memiliki kesejahteraan hidup yang cukup. Kurangi hutang, selektif dalam menggunakan uang, belajar investasi, menabung, memiliki pekerjaan sampingan, dana darurat, dan masih banyak lagi cara agar kita mampu bertahan dalam menghadapi kondisi ekonomi yang diperkirakan akan terjadi resesi pada tahun 2023.

Baca juga: Hubungan Literasi Keuangan dan Quarterlife Crisis

Andrey Naufal Luthfi
Mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *