Pergeseran Budaya Mahasiswa Rantau di Kota Besar dengan Dalih Adaptasi

Dalam setiap fase kehidupan kita memang akan mengalami suatu perubahan atau pergeseran kebiasaan dalam rangka penyesuaian dan adaptasi hidup. Potret mahasiswa zaman sekarang yang terlihat bergaya hidup hedon dengan mempertontonkan barang mahal, pakaian bermerek, dan pergi menonton konser dengan harga yang tidak murah. Semua itu tidak jarang bisa kita saksikan di sosial media mahasiswa yang hidup di kota besar.

Mahasiswa rantau cenderung mengikuti dinamika dan pergaulan yang ada di kota besar. Apakah hal tersebut salah? Tentu tidak sepenuhnya. Mahasiswa, terutama yang merantau ke kota besar seperti Yogyakarta, mereka membawa tanggung jawab dari tanah kelahirannya kepada orang tua mereka. Bahkan tidak hanya sekadar orang tua saja, nilai-nilai kedaerahan dan nilai keagamaan seolah perlahan-lahan hilang seiring berbaurnya mereka dengan lingkungan rantau.

Dalih Adaptasi

Kemampuan beradaptasi merupakan salah satu kunci untuk bertahan hidup pada lingkungan yang baru. Namun adaptasi seperti apa yang dimaksudkan? Tentunya bukan adaptasi dengan pergi ke kelab malam, meminum alkohol, dan menghabiskan uang saku secara sia-sia. Hal tersebutlah yang membuat pergeseran budaya mahasiswa rantau semakin terlihat. Bahkan bukan lagi bergeser dari budaya mereka menuju budaya barat, tetapi bergesernya budaya Indonesia menuju budaya yang yang tidak menunjukkan nilai-nilai Indonesia dengan utuh. Jadi bukanlah kemampuan adaptasi seperti ini yang harus diterapkan mahasiswa rantau di kota perantauannya.

Adaptasi hidup di kota besar agaknya justru menjauhi hal-hal tersebut karena selama kurang lebih empat tahun lamanya kita hanya perlu untuk menyelesaikan studi kita di perguruan tinggi secara baik dan amanah. Masih banyak cara untuk bersenang-senang dan menikmati hidup di kota rantau tanpa harus kita merubah jati diri kita yang sudah memiliki nilai-nilai baik di daerah asal. Adaptasi hanya sekadar dijadikan dalih untuk mereka menikmati masa muda mereka yang saat ini “terbebas” dari pengawasan dan tanggung jawab mereka kepada orang tua.

Perubahan Bahasa dan Kepribadian

Tidak hanya perubahan gaya hidup yang bisa kita saksikan pada mahasiswa rantau yang menempuh pendidikan di kota besar. Akan tetapi, perubahan secara bertutur kata, berbahasa, dan kepribadian juga turut berubah. Bahasa anak muda dengan tutur kata yang kurang baik sering kali kita jumpai di “tongkrongan”, tempat umum, bahkan pada kegiatan kemahasiswaan yang bersifat informal. Dominasi bahasa “gaul” yang tumbuh di kota besar membuat mahasiswa rantau juga memiliki kecenderungan untuk merubah gaya bahasa dan tutur katanya.

Mereka yang tadinya bertutur kata dan berbahasa sopan di telinga, mulai mengikuti gaya bahasa yang ada di kota besar. Umpatan-umpatan, tutur kata dan kepribadian orang lain yang sering mereka dengar perlahan mulai mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran-pemikiran baru entah itu baik atau buruk mereka tangkap dan serap. Apabila seseorang tidak memiliki pendirian yang kuat maka akan sangat mudah terbawa arus pergaulan yang negatif. Terlebih lagi mahasiswa masih tergolong sebagai masa transisi dari remaja menuju dewasa. Bisa dikatakan mahasiswa berada dalam fase “dewasa nanggung”. Artinya perubahan-perubahan gaya hidup dan kepribadian akan sangat mudah terjadi dalam fase mereka mencari jati diri mereka.

Globalisasi dan Daya Magnet

Apabila globalisasi bisa dianalogikan dengan magnet dan kota besar, besar kemungkinan globalisasi dapat memberi pengaruh yang lebih di kota besar. Semakin besar suatu kota semakin besar juga daya untuk menarik manusia dan semakin besar pula arus globalisasi terjadi. Itulah yang dikhawatirkan dalam kehidupan di kota besar yang dijadikan perantauan mahasiswa daerah. Dengan adanya globalisasi yang memberikan dampak nyata dalam kehidupan budaya-budaya dari berbagai macam wilayah baik itu dalam negeri maupun luar negeri tampak lebih nyata.

Meskipun dengan segala hiruk-pikuknya, kota besar masih menjadi daya tarik bagi berbagai kalangan baik itu mencari pekerjaan, menempuh pendidikan, atau hanya sekadar mengunjunginya untuk berwisata. Pertemuan antara berbagai macam elemen-elemen yang ada di luar inilah yang perlu diwaspadai. Di dalam magnet akan nada magnet-magnet kecil yang dapat menarik “logam-logam” kecil untuk mendekatinya. Ketika suatu logam tersebut terikat pada magnet-magnet kecil tersebut maka untuk melepasnya akan menjadi semakin sulit.

Unsur-unsur yang tadinya logam bawa sendiri-sendiri akan melebur menjadi satu dengan magnet dan logam lainnya. Apabila kita sudah terikat pada magnet tersebut, salah satu cara untuk menghilangkan daya magnet tersebut adalah dengan “dipukul”. Dalam artian kita harus menyadarkan diri sendiri bahwa telah terjadi pergeseran budaya yang tidak sesuai dengan jati diri kita dan tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.

Penutup

Pada akhirnya hal tersebut merupakan pilihan hidup masing-masing manusia. Namun, tidak ada salahnya juga kita perlu melihat diri kita sendiri sebagai mahasiswa. Apakah hal yang kita lakukan sudah berada pada nilai-nilai yang seharusnya kita terapkan? Apabila tidak, tentu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan menyadarkan diri kita sendiri akan bagaimana tujuan sebenarnya menjadi mahasiswa perantauan di kota besar.

Adaptasi yang baik adalah bukan merubah jati diri kita dan ikut terbawa arus negatif di dalamnya. Adaptasi yang baik adalah adaptasi yang membuat mahasiswa rantau memperoleh banyak pengalaman berguna dan berprestasi di kota rantau.

Baca juga: Gaya Hidup Minimalis Bukanlah Hal Baru

Implikasi dari semua itu adalah nantinya dikhawatirkan mahasiswa rantau berjalan menuju arah yang kurang tepat dan menjadi penyesalan di hari tua. Budaya yang asli yang diturunkan secara turun-temurun lama kelamaan akan bergeser sebagaimana anak muda menganggap budaya barat lebih baik dari budaya asli Indonesia. Agaknya, paradigma berpikir mahasiswa perlu diselaraskan dengan nilai-nilai luhur pancasila agar dampak buruk dari adanya globalisasi seperti berbagai hal yang telah disampaikan di atas dapat direduksi.

Muhammad Iqbal Sya'bani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *