Peran Perempuan Tidak Hanya Sebagai Pendamping

“Berdirilah sejajar, namun jangan terlalu dekat. Bukankah pilar-pilar candi tidak dibina rapat?” Kahlil Gibran –

Perkembangan zaman telah merubah pola hidup para perempuan yang dulu hanya mengurusi wilayah domestik, era ini tidak elegan rupanya jika perempuan tidak turut serta dalam ranah publik. Namun, bagi sebagian kalangan gender yang didefinisiskan sebagai perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari aspek sosial masih dipahami sebagai konsep yang selalu dianasirkan dengan perempuan.

Hal ini memang tidak sepenuhnya salah, sebab pada mulannya gender memang muncul akibat terjadinya berbagai macam bentuk subordinasi dan marginalisasi yang terjadi pada Perempuan. Sehingga hal ini menyebabkan topik perempuan menjadi dominan.

Meskipun demikan, bukan berarti gender hanya dan selalu berbicara mengenai perempuan saja, karena seiring berjalan dan majunya zaman, ketidakadilan, marginalisasi dan stereotype yang terjadi pun semakin berkembang. Tidak terbatas lagi hanya pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Beginilah sebaiknya kita menempatkan gender dalam melihat realitas sosial sekarang.

Status Quo Budaya Patriarki                                                                           

Sebelum lebih jauh menmbahas konteks sosial masyarakat secara umum, perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu konsep-konsep dasar yang akan sering digunakan dalam pembahasan ini. Permasalahan penggunaan kata atau term sex dan gender penting untuk diperjelas karena istilah sex sering dipergunakan secara bergantian dengan gender, karena dianggap mempunyai arti yang sama yakni jenis kelamin.

Kata sex merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, kebanyakan dikaitkan dengan fungsi reproduksi. Fungsi reproduksi tidak akan mampu diubah, selanjutnya inilah yang dinamakan dengan kodrat atau takdir Allah, dalam arti yang sesungguhnya.

Sebaliknya, kata gender digunakan untuk merujuk kepada perbedaan perempuan dan laki-laki secara sosial. Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal ini dibentuk dan direkayasa manusia melalui konstruksi sosial kemudian menjadi budaya yang melekat erat sehingga susah untuk dirubah, misalnya; laki-laki diidentikkan keras dan kuat, sedang perempuan lemah-lembut; laki-laki lebih mengandalkan rasio sedang perempuan cenderung menggunakan perasaan.

Gender Sebagai Pisau Analisi Sosial

Implikasi dari budaya stereotype tersebut melahirkan berbagai problema, di antaranya; Pertama, masalah marginalisasi dan subordinasi. Pandangan permepuan lemah berimbas pada marginalisasi, peminggiran kaum perempuan dalam bidang sosial terutama bidang ekonomi: gaji rendah buruh perempuan salah satu contoh nyata marginalisasi kaum perempuan, belum lagi subordinasi yang mengarah kepada penomor-duaan kaum perempuan, baik di tempat kerja, masyarakat, bahkan negara (melalui undang-undang dan kebijakannya).

Kedua, Kedua, marginalisasi berimbas kepada masalah stereotype (pelabelan negatif) dan cenderung diskriminatif, perempuan miskin secara struktur di berbagai lini kehidupan, karena ia lemah maka pendidikan tidak usah tinggi-tinggi, upah kerja juga tak jauh berbeda.

Ketiga, kekerasan dan bebanganda (double burden) yang kerap kali diterima kaum perempuan; baik secara fisik maupun kekerasan simbolik, melalui perkataan yang intimidatif, dan pelecehan seksual. Tentu saja, ketiga masalah itu tidak statis, ia berkembang sesuai dengan perkembangan keadaan sosial masyarakat, ini yang akan saya elaborasi lebih dalam mengenai masalah marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan di masa sekarang.

Baca juga: Mari Mengkaji Gender dari Sudut Pandang Sosiolinguistik

Permasalahan gender yang secara umum saya bagi menjadi tiga dalam tulisan ini, menjadi titik berangkat kita dalam menjadikan gender sebagai alat analisis sosial. Setiap persoalan sosial perlu dianalisis menggunakan kacamata tertentu tergantung dari masalah apa yang akan diteliti. Dalam hal ini, gender tidak hanya sebatas menjadi diskursus namun menjadi alat analisis untuk diarahkan kepada perubahan sosial. Dalam melihat gender sebagai alat analisis perlu kiranya melihat pemikiran feminisme dan landasar dasar analisis mereka terhadap permsalahan gender.

Mansour Fakih, membagi corak feminisme ke dalam dua arus besar: aliran feminisme fungsionalisme dan aliran konflik. Perempuan saat ini meskipun telah mendapatkan berbagai akses lebih banyak dari sebelumnya dalam berbagai sektor akan tetapi masih banyak mengalami ketidakadilan. Akar dari ketidakadilan ini memang berlangsung tidak hanya hari ini melainkan telah dari masa ke masa yang perlu upaya gradual dan kerja keras yang panjang.

Peningkatan akses ini seperti terlihat pada meningkatnya jumlah perempuan yang berpendidikan walaupun belum bisa dikatakan sejajar dengan angka kaum terdidik dari persentase laki-laki. Selain itu kebijakan dalam dunia hukum-politik yang mulai terbuka bagi perempuan juga merupakan fenomena yang patut dicatat.

Harus diakui bahwa selama ini kepincangan yang terjadi di masyarakat diperoleh sebab lelaki sering memperoleh kesempatan dalam segala hal dibandingkan perempuan, perhatikan dari yang paling dekat dengan prinsip, yaitu memilih pasangan hidup.

Di tengah kebutuhan mendapat peluang yang sama, laki-laki lebih banyak kesempatan memilih sesuai dengan pertimbangan dan kecenderungannya daripada perempuan. Padahal di sisi lain, perempuan diharapkan tidak berhenti hanya sebagai pendamping, tapi mendambakan perempuan untuk berkontribusi membangun masyarakat sebagai sesama khalifah dan hamba Allah di muka bumi.

Catatan: Tulisan ini adalah karya pemenang Harapan 1 dari Lomba Menulis Artikel Populer Narasi Nara tahun 2023

Penulis adalah lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Seorang pembelajar yang tertarik dengan berbagai isu, di antaranya; hukum, sosial, politik, dan gender. Aktif menulis di berbagai platform media sosial, blog pribadi dengan nama senaputrisafitri.blogspot.com serta jurnal ilmiah terakreditasi nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *