Pendidikan Tersier: Masyarakat Dilarang Pintar dan Kaya (?)

Belum lama ini satu Indonesia dihebohkan dengan ucapan salah satu pejabat negara yang mengungkapkan bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier. Pasalnya, ungkapan ini keluar di tengah problematika Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang meroket. Aksi mahasiswa dari berbagai universitas yang protes terkait UKT seolah dianggap kerikil yang mengganggu tumit petinggi negara sehingga harus dibuang lewat ungkapan pendidikan tersier tersebut.

Bedakan Antara Sektor Tersier dan Primer

Konsep tersier yang dimaksud dalam pendidikan tersier perlu dibedah kembali. Sebab istilah tersier muncul di berbagai cabang ilmu. Misal, di ilmu ekonomi, pendidikan memang masuk ke dalam sektor tersier karena tidak berorientasi pada produksi yang menghasilkan suatu produk. Sektor tersier fokus pada sektor jasa, tidak seperti sektor primer seperti pertambangan dan perikanan, ataupun sektor sekunder seperti manufaktur. Artinya, apakah benar pendidikan tinggi adalah tersier? Mari kita lihat ke konsep tersier lainnya.

Selain ada sektor tersier, ada juga kebutuhan tersier. Kebutuhan tersier berbeda dengan sektor tersier dalam konteks lapangan pekerjaan dan produksi. Kalau merujuk pada Teori Hierarki Kebutuhan dari Abraham Maslow yang terdiri dari Physiological Needs, Safety/Security Needs, Social Needs, Esteem Needs, dan Actualization Needs. Pendidikan masuk ke dalam Esteem Needs atau kebutuhan akan penghargaan seperti status, pengakuan, reputasi, apresiasi, dan martabat. Ketika kebutuhan akan penghargaan ini terpenuhi, maka manusia tibalah di puncak tertinggi piramida Maslow yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri. Sehingga seseorang akan terus berusaha menemukan potensi terbaik dalam dirinya.

Kebutuhan Berdasarkan Maqasid Syariah

Jauh sebelum Maslow mengeluarkan teori kebutuhannya, telah ada teori kebutuhan yang menjadi landasan dari dulu hingga sekarang, yaitu Imam Al-Ghazali dalam Maqasid Syariah. Terdapat lima unsur penting dalam kehidupan manusia, yakni agama, hidup (jiwa), akal, keturunan, dan harta. Agama berada diurutan pertama sebagai pondasi, sementara akal yang berarti pendidikan di dalamnya berada di tengah-tengah, barulah kemudian harta di urutan terkakhir.

Semua orang sepakat bahwa pendidikan adalah penting, sehingga posisinya berada pada kebutuhan primer. Namun, bagaimana dengan pendidikan tinggi? Haruskah semua orang belajar di universitas? Pertanyaan harus atau tidaknya ini harus dilihat berdasarkan kebutuhan. Saat ini, di banyak tempat penyedia kerja menentukan klasifikasi gaji berdasarkan latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang. Misal, kalau hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA/Sederajat), maka gajinya sebatas Upah Minimum Regional (UMR) saja, bahkan beberapanya digaji di bawah UMR. Berbeda dengan lulusan Magister atau Doktora dengan peluang jenjang karir yang cukup menjanjikan. Sehingga, mau sepintar dan secakap apapun seseorang, tanpa ijazah sarjana, ia akan kesulitan bertahan di dunia yang serba kapitalis ini.

Artinya, menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah tersier secara general tidak dapat dibenarkan. Karena status dan pengakuan akan seorang sarjana berbeda di mata para penyedia lapangan kerja. Belum lagi ketika status sarjana mampu meningkatkan derajat dan kesejahteraan seseorang atau keluarga. Akan muncul multiplier effects hingga ke peningkatan kecerdasan masyarakat dan pertumbuhan perekonomian negara lewat pemberdayaan masyarakatnya.

Pilih Mana: Makan Siang Gratis atau Pendidikan Tinggi Gratis

Mengatakan pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier di tengah pemerintah yang gagal dalam merealisasikan pendidikan inklusif untuk seluruh rakyatnya amatlah nahas. Padahal, Indonesia menempati posisi ke dua dengan universitas terbanyak di dunia, namun masih belum menjadi rujukan universitas oleh masyarakat dunia. Bagaimana tidak, masyarakat Indonesianya sendiri masih berbondong-bondong mencari pendidikan ke luar negeri atas imbas pendidikan tinggi di dalam negeri yang terlampau sulit digapai. Bukan karena kualitasnya yang menyebabkan sulit digapai, melainkan biayanya yang di luar nalar.

Ketimbang membicarakan makan siang gratis yang merogoh APBN mulai dari studi bandingnya hingga realisasinya kelak, selesaikan dulu problematika pendidikan tinggi dengan UKT tinggi itu. Pendidikan boleh tinggi, UKT jangan! Kalau masih memikirkan program makan siang gratis, tapi harga pendidikan tinggi masih mahal, pada akhirnya makan gratis hanya untuk yang kaya-kaya saja. Mereka lagi, mereka lagi. Masyarakat miskin dan apa adanya, gak boleh pintar dan gak boleh kaya (?)

Alfina Rahmatia
Lagi lanjut studi S3 di Turki bareng suami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *