Menguak Keterasingan dan Absurditas Manusia dalam Gaya Hidup Masa Kini

Adalah hal yang tidak terlalu sulit bagi kita untuk melihat betapa pesatnya perkembangan industri, sains dan teknologi yang berdiri kokoh di atas sistem kapitalisme dewasa ini. Perkembangan-perkembangan tersebut tentu berlangsung bukan tanpa pengaruh terhadap gaya hidup masa kini, melainkan secara serampangan langsung mengkoyak-koyak jantung eksistensi manusia. Seluruh kehidupan manusia pada dasarnya dikondisikan oleh berbagai kemajuan-kemajuan besar yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Hal ini semakin tampak pada saat teknologi mampu mencampuradukkan distingsi antara realitas virtual dan non-virtual.

Jika dilihat sambil lalu, berbagai macam perkembangan itu tampak seperti tidak memiliki andil yang besar terhadap gaya hidup manusia. Namun, jika kita memiliki waktu untuk memperhatikannya lebih seksama, seluruh perkembangan-perkembangan itu dapat membawa manusia pada suatu kondisi di mana eksistensi manusia mengalami penciutan yang demikian mengerikan. Kondisi ini memungkinkan manusia teralienasi dari dirinya sendiri dan mengalami disorientasi dalam mengaktualisasikan kemanusiaannya.

Bagaimana keterasingan manusia bisa mendapatkan tempatnya di atas perkembangan industri kapital, sains dan teknologi?. Untuk sampai pada pemahaman tersebut, kita dapat menelusurinya melalui gaya hidup masa kini yang hendak ditunjukan dalam tulisan ini.

Barangkali kita sering mendengar terkait wacana modernitas yang acapkali menjunjung tinggi rasionalitas. Bentuk rasionalitas yang paling gamblang dirasakan oleh masyarakat modern adalah terbentuknya birokrasi dalam berbagai lini kehidupan masyarakat. Sebagai masyarakat modern, tentu kita sering tenggelam dalam berbagai macam bentuk birokrasi yang pada gilirannya mampu menciutkan manusia menjadi semata bersifat teknis dan tunduk patuh terhadap prosedur. Bentuk rasionalitas semacam ini mengemuka dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari.

Fenomena Belanja Online

Misalnya, kita akan bersentuhan langsung dengan prosedur yang tanpanya kita tak mungkin dapat melakukan transaksi apapun. Artinya, manusia dipaksa untuk patuh terhadap prosedur agar dapat melangsungkan transaksi yang diinginkan. Implikasinya jelas, manusia dengan sukarela menyerah pada prosedur tanpa ada perlawanan.

Masalahnya akan demikian jelas apabila kita menyadari bahwa dalam kegiatan belanja online, beserta segala carut-marut prosedurnya, sejatinya terkandung kecurangan yang dapat menyebabkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Dengan tunduk pada prosedur, teknologi yang diasuh oleh sistem kapitalisme mampu memetakan seluruh hasrat dan keinginan manusia yang nantinya akan digunakan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya oleh pihak-pihak tertentu. Pasalnya, dalam rezim prosedur itu, manusia ditempatkan sebagai objek dihadapan birokrasi dan teknologi.

Manusia Terperangkap Algoritma

Manusia dijadikan bahan pembelajaran bagi mesin-mesin algoritmik guna mendapatkan pengetahuan tentang apa yang kita sukai dan apa yang tidak kita sukai. Sebagai implikasinya, manusia tidak lagi dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginannya. Tiap-tiap individu disetir oleh mesin yang mampu melenyapkan subjektivitas ke dalam arus besar konsumsi, semuanya melebur di bawah asuhan algoritma. Inilah sesuatu yang sejatinya menjadi basis dari gaya hidup masa kini. Banyak hal yang kita lakukan tidak lagi ditentukan sepenuhnya atas dasar kesadaran, kita terjerembab dalam selubung ilusi yang dihasilkan oleh janji manis algoritma.

Jika dahulu keterasingan hanya ada pada buruh-buruh pabrik yang dirampas nilai kerjanya, kini, keterasingan menjangkit seluruh kehidupan manusia. Dengan segala rasionalitasnya, manusia modern terjerumus ke dalam kungkungan yang dibuatnya sendiri. Kita tidak perlu repot-repot membuktikannya, gaya hidup masa kini seperti belanja online, scroll Twitter dan menghabiskan waktu untuk berceloteh di media-media sosial lainnya adalah wujud paling gamblang keterasingan manusia baik dari dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Seluruh kegiatan virtual kita pada dasarnya sudah diarahkan oleh pihak tertentu demi kepentingan ekonomi. Tak pelak lagi, gempuran dunia virtual ini berdampak pada kehidupan non-virtual dan menjadikan keterasingan menjadi titik sentral dalam panggung kehidupan manusia.

Baca juga: Alasan Emotional Marketing Semakin Populer

Lebih jauh, kita juga dapat mengenali keterasingan dalam fenomena media sosial yang menjadi representasi gaya hidup masa kini. Di hadapan gempuran arus informasi, manusia tidak hanya menjadi konsumen informasi, melainkan sekaligus menjadi buruh dan row material. Manusia menjadi buruh karena mereka memproduksi konten di media sosial yang dimiliki oleh para pemodal. Sebagai contoh, seseorang menyimpan konten video pada aplikasi TikTok, aplikasi tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah lahan yang dikuasai oleh para pemiliki modal. Dengan begitu, orang yang memproduksi konten sejatinya ia sedang menjadi buruh bagi para pemilik modal yang menguasai platform tersebut. Artinya, perburuhan terjadi dengan sukarela.

Manusia Menjadi Konsumen, Buruh, Sekaligus Row Material

Tidak hanya itu, dalam arus informasi manusia juga menjadi row material, hal ini dimungkinkan persis karena manusialah yang menjadi bahan pembelajaran bagi media-media sosial. Aplikasi-aplikasi itu mempelajari karakter, sifat, kesukaan, dan segala macam tetek-bengek subjektivitas manusia agar nantinya dikonsumsi kembali oleh manusia itu sendiri. Dengan begitu, manusia sekaligus menjadi konsumen, buruh, dan row material.

Pada tahap ini kita bisa melihat betapa manusia hanya dipandang sebagai instrumen atau alat untuk mencapai sesuatu. Manusia tidak lagi dipandang sebagai subjek yang bebas dan otentik. Ironisnya, keirasionalan ini menjadi landasan seluruh gaya hidup manusia masa kini. Atas nama rasionalitas, ternyata semuanya semakin irasional. Inilah absurditas budaya modern yang termanifestasi dalam gaya hidup masa kini.

Terkikisnya Hakikat Manusia

Manusia kehilangan dirinya dan asing terhadap hakikatnya sendiri yang bebas, kita tidak lagi berpijak pada subjektivitas yang kokoh, semuanya mengambang dalam situasi yang tak karuan, manusia kehilangan makna dan pegangannya yang mutlak, kita semua meliuk-riang di angkasa lepas tanpa tujuan yang jelas. Bukankah ini merupakan hal yang paling absurd dari apapun jua yang absurd?.

Di sini kita sudah sampai pada pemahaman bahwa gaya hidup yang didominasi oleh piranti teknologi ternyata membawa manusia pada keterasingan dari dirinya sendiri. Hal ini tidak kita sadari karena kita terlalu sibuk dengan berbagai macam teknis dan prosedur yang ada di sekeliling kita. Kesadaran akan keterasingan inilah yang akan membawa manusia pada pengalaman absurditas. Kita tentu dapat mengkaji ulang bagaimana relasi kita dengan gaya hidup yang kita lakoni saat ini, apakah benar-benar layak dijalani atau tidak?. Itulah tujuan utama dari tulisan ini, yakni menggugat ulang gaya hidup agar tidak terjerembab dalam selubung ilusi.

CATATAN: Tulisan ini adalah karya pemenang Juara 1 dari Lomba Menulis Artikel Populer Narasi Nara tahun 2023

(Editor: Moh Andy Iqbal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *