Manusia dan Waktunya

Ketika berbicara soal waktu, maka juga akan membayangkan jam, hari, bulan, dan tahun. 24 menjadi angka dalam siklus kehidupan manusia dalam satu hari.  Kemudian dibagi menjadi 12 jam yang terdiri dari siang dan malam. Lalu dari tiap-tiap 12 jam ini juga akan menjadi beberapa pembagian waktu seperti pagi, siang, sore, malam, tengah malam, dini hari, dan lain sebagainya. 24 jam ini pula merupakan akumulasi dari 1 jam, 1 jam terdapat 60 menit, dari 1 menit akan menghasilkan 60 detik, maka berarti 1 jam adalah 3.600 detik. Dari 24 jam dalam 1 hari ini juga akan menghasilkan perpekan, perbulan, pertahun, perdasawarsa, dan perabad. Pada esensinya jika melihat angka-angka tersebut waktu yang diberikan begitu panjang dan lama dalam konteks angka.

Waktu juga dapat terkesan terbatas dengan angka 24 jam. Tetapi jika diuraikan dalam perandaian dari 24 jam, maka akan terbagi ke beberapa aktivitas. Semisalnya jika 8 jam yang digunakan untuk tidur, 3 jam untuk makan, 1 jam untuk mandi, 2 jam untuk beribadah dan anggaplah ada 2 jam untuk mengerjakan aktivitas lainnya, maka yang tersisa dari 24 jam ialah 6 jam. Pertanyaannya, digunakan untuk apa 6 jam tersebut? Apakah dengan 6 jam tersebut dipergunakan dengan sebaik-baiknya? Ataukah digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berfaedah? Memang terkesan pertanyaan biasa dan receh. Namun jika diingat, waktupun berlalu, tidak akan pernah kembali dan tak berulang seperti apa yang dikehendaki.

Lalu, apakah kita dilahirkan di waktu yang salah?

Dalam konteks pembahasan ini, bukan salah atau benarnya suatu waktu yang dirasakan. Yang mengatakan salah bisa jadi memiliki kecenderungan untuk bersembunyi di balik ungkapan-ungkapan yang terasa begitu meyakinkan, namun yang mengatakan benar bisa jadi mempunyai ketangguhan dalam menghadapi setiap proses yang terjadi pada waktunya. Alangkah lebih baiknya jika manusia dapat berhubungan dan menjalani hubungan pada waktu tersebut dengan baik dan memperlakukan waktu bukan sebagai musuh yang menggerogoti melainkan sebagai teman yang menyemangati.

Lebih dari itu, waktu juga tidak akan pernah terlepas dengan seluruh rangkaian saat ketika berproses. Baik dalam melakukan perbuatan yang sedang berlangsung, yang telah lalu ataupun di masa yang akan datang. Karena sifat dari waktu yang bersetubuh dengan kehidupan manusia. Waktu juga akan menjadi patokan dalam suatu pola kehidupan manusia yang telah tersistematis. Dari rangkaian kegiatan keseharian, kebutuhan, ibadah, dan kegiatan lain sebagainya. Pola terukur yang dimiliki oleh waktupun tidak akan pernah bisa diubah oleh manusia. Bijaknya, sebagai manusia harus pandai dalam berkolaborasi dengan waktu.

Perandaian Masa Depan

Waktu juga merupakan proses pertemuan dan perpisahan pada manusia. Semua pada prosesnya akan dipertemukan dengan waktu. Ada istilah yang terasa ringan namun terlalu sulit untuk dijelaskan, “semuakan indah pada waktunya.” Sekilas kalimat ini begitu renyah untuk didengar dan menjadi pelipur lara. Kalimat penghibur yang seolah-olah telah memprediksi hal-hal yang indah di masa yang akan datang, namun tidak dapat menyebutkan secara jelas kapan waktu itu akan terjadi. Atau dengan kalimat, “biarlah waktu yang akan menjawab.” Jika demikian, ini merupakan kalimat perandaian berupa pengharapan yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada waktu.

Secara alamiah jika pada masanya, manusia akan mulai menghadapi proses penuaan, memulai hidup dari lahir, kemudian tumbuh dan berkembang dengan melewati berbagai proses lalu pada akhirnya akan menua. Melihat dari fenomena alami manusia yang merupakan sebuah siklus tentu ada baiknya setiap manusia untuk berpikir dan merenung sejenak tentang waktu. Ini juga sepatutnya sebagai manusia merupakan bagian yang membentuk sebuah kesadaran agar dapat berpikir dan memperbaiki setiap proses terhadap hal apapun yang telah dilewati. Namun terkadang manusia itu sendiri lupa dan belum memahami betapa unik dan istimewanya sebuah waktu.

Keistimewaan Waktu

Inilah waktu, terdapat keistimewaan pada kata waktu yang terkadang menciptakan kamuflase antara baik dan buruknya suatu kejadian. Dengan kamuflase pada waktu ini juga terkadang membuat manusia seolah-olah lupa dengan waktu. Padahal manusia itu sendiri ada di dalam waktu tersebut. Entah sadar ataukah tidak, manusia dapat melihat bahwa waktu membawa dirinya dan makhluk hidup lainnya terus maju berkembang mengikuti polanya masing-masing. Waktu memang bertugas membawa semua hal yang diberi “hidup” di semesta ini. Akan tetapi dengan kalimat itu diharapkan kepada manusia yang hidup benar-benar menyadari bahwa waktu ada dalam keberadaannya dan menghindari setiap pengabaian pada waktu dengan segala hal kamuflase yang tercipta.

Pada setiap kamuflasenya, waktu juga akan membuat sebuah cerita. Setiap tahapan siklus yang terjadi sebagai manusia adalah bagian dari alur skenarionya. Lalu dengan lamanya waktu yang bergulir menjadi cerita akan memunculkan perasaan manusia tentang waktu yang dijalaninya. Ada yang merasa cukup, ada yang menganggap terlalu lama, dan ada pula yang dianggap terlalu singkat . Waktu tidak dapat di undur, juga dimajukan, hanya mengalir dan berjalan begitu saja. Waktu pula tidak dapat dihentikan, begitupun dipercepat. Jika telah terjadi maka terjadilah. Waktu bukan cerita ala drama yang suatu ketika ada adegan yang salah tiba-tiba sang sutradara langsung mengatakan cut lalu diulang kembali dan diperbaiki. Di sinilah keistimewaan waktu yang membawa misteri di dalam setiap cerita.

Sang Pengendali Waktu

Manusia sejatinya sang pengendali waktu yang mempunyai kemampuan untuk melihat ke belakang dan ke depan yang tidak terjebak paada setiap kamuflasenya. Berbeda halnya dengan tumbuhan dan hewan yang hidupnya menurut waktu kuantitatif. Dalam karya Alfred Korzybski di bidang semantik secara tegas menunjukan bahwa sifat yang membedakan manusia dan makhluk lainnya adalah kemampuan dalam mengikat waktu. Kemampuan pada manusia untuk menggunakan dan mengarahkan hidupnya dalam terang kebijaksanaan pada waktu yang telah lalu dan masa yang akan datang. Dan pada setiap proses kejiwaan yang terjadi pada waktu akan terekam dalam setiap memori ingatan pada manusia.

Memori juga bukan hanya sekedar cetakan masa lalu dalam diri manusia, namun lebih dari itu memori merupakan penjaga setiap moment yang tercipta dan mempunyai makna dalam setiap harapan-harapannya. Dengan demikian, memori merupakan bukti lain bahwa manusia memiliki hubungan yang fleksibel pada waktu. Memori juga memandu manusia untuk tidak terjebak dan tenggelam dalam waktu yang hanya bersumber pada angka (kuantitatif), melainkan banyak hal yang mampu manusia temukan melalui pemaknaan waktu (kualitatif) dari pengalaman-pengalaman yang telah dilakukan oleh setiap manusia.

Ini juga bukan bearti bahwa waktu kuantitatif sama sekali tidak penting. Yang ditekankan bahwa pada setiap manusia tidak semata-semata hidup dalam waktu yang terukur. Karena banyak juga hidup manusia yang hanya sampai pada usia-usia tertentu bahkan tidak sedikit manusia yang tidak sempat merasakan perjalanan yang menghasilkan pengalaman-pengalaman hidupnya. Dengan waktu kuantitatif ini juga menunjukan bahwa manusia akan menua dan pada akhirnya hidup manusia akan berkahir sama halnya dengan makhluk yang lainnya. Namun yang membedakan keduanya adalah manusia yang telah sadar dan mampu untuk menyongsong kematian supaya sanggup mengendalikan waktu pada hidupnya dengan cara bijak.

Manusia Akan Menjadi Sejarah

Waktu pun bergerak maju namun tak berujung bahkan hingga semesta berakhir. Lalu apakah penyesalan yang akan berada di akhir cerita ataukah setidaknya dapat mengelus dada bahwa apa yang telah kita lakukan telah tepat pada skenarionya? Pada waktu tersebut kesadaran yang mendasar bahwa manusia ada di dalam waktunya dan setiap individu pada manusia itu sendirilah sebaik-baik pengenal waktunya. Sehingga setiap dari keistimewaan pada waktu tersebut manusia bisa menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan menikmatinya tanpa ada rasa khawatir dan penyeselan yang menghiasi. Memang kekhasan dari kata penyesalan adalah selalu berada di akhir, namun cobalah untuk tidak membiarkannya menjadi derita berkepanjangan.

Peribahasa lama mengatakan bahwa harimau mati akan meninggalkan belangnya, gajah mati akan meninggalkan gadingnya, dan manusia mati akan meninggalkan namanya. Peribahasa ini memang implisit, metafora pada kalimat ini menghasilkan ambiguitas. Namun secara sederhana, sudihkah manusia yang telah diberi hidup hanya meningalkan nama pada waktu yang diberikan? Walaupun dalam pemaknanaannya begitu luas, entah itu baik atau tidak. Setiap manusia akan menjadi sejarah, maka berpikir dan berjuanglah melalukan hal baik sekecil apapun, dengan demikian berusaha untuk tidak membiarkan penyesalan di akhir cerita.

Arief Dwi Saputra
Tukang teliti bisnis dan MSDM.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *