Tulisan ini adalah ulasan dari novel biografi berjudul Buya Hamka yang ditulis oleh Ahmad Fuadi. Sebagai salah seorang yang menyukai tulisan-tulisan Buya Hamka, saya rasa ini adalah kali pertama saya membaca kisahnya dari awal hingga beliau tutup usia. Pembawaan Ahmad Fuadi yang mengalir dan ringan dalam penulisan novel Buya Hamka, membuat saya banyak terpukau dan terkejut setelah membaca novel ini. Sebab ternyata, banyak sekali sisi lain Buya Hamka yang jarang terdengar. Di antaranya saya rangkum ke dalam lima hal yang tidak banyak orang tau tentang Buya Hamka.
-
Pernah kabur dari rumah
Buya Hamka yang memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah (nama Hamka itu sendiri lahir dari akronim nama panjang beliau) pernah melegalkan kakinya untuk kabur dari rumah di usianya yang masih 15 tahun. Hal itu lantaran keinginannya merantau ke Jawa. Sejak bertolak dari kampung halamannya di Padang Panjang, hatinya senang namun risau. Apalah daya, Buya Hamka demam dan ketika tiba di Bengkulu, Buya Hamka terkena cacar dan malaria.
Pada akhirnya, perjalanannya lari dari rumah tidak berbuahkan hasil. Buya Hamka kembali ke rumah. Hal yang tak kalah mengenaskan adalah ketika Buya Hamka bertemu Ros, perempuan sebaya yang ia sukai, tidak mengenali Buya Hamka saat disapa karena bopeng bekas cacar di mukanya.
- Haji backpacker di usia 19 tahun
Saya sebut haji backpacker karena Buya Hamka bermodal nekat dengan uang seadanya untuk berangkat ke Tanah Arab. Tekadnya yang terlampau kuat untuk menginjakkan kaki di Makkah tak dapat dielakkan lagi. Di Makkah, Buya Hamka mencari pekerjaan sambilan agar uangnya tak habis di tengah jalan. Mulai dari bekerja di percetakan, hingga membuka taklim untuk jamaah haji asal Indonesia. Saat di Makkah pula, Buya Hamka bertemu Agus Salim.
Saya menemukan ucapan Agus Salim kepada Buya Hamka yang masih remaja menuju dewasa muda, tentang kerisauan Buya Hamka apakah menetap di Makkah lebih lama lagi sambil menuntut ilmu agama, atau segera pulang ke Indonesia. Agus Salim menjawab, “kalau engkau terbenam di luar negeri bertahun-tahun, lalu engkau pulang maka amat payah engkau menyesuaikan diri dengen perkembangan di tanah air.” Saya rasa, jawaban Agus Salim masih relate untuk seluruh anak rantau yang bingung kembali ke tanah air, kembali ke kampung halaman, atau menetap lebih lama di perantauan.
- Pernah Kehilangan Anak Saat di Puncak Karir
Di hari Buya Hamka menyambut kelahiran majalah pertamanya, beliau juga harus menerima kenyataan pahit ditinggal oleh anak pertamanya, Hisyam. Orang tua mana yang tidak terpukul melihat anaknya meninggal dunia? Bahkan terdapat ungkapan orang bijak yang mengatakan bahwa ada banyak kisah anak kehilangan orang tua, namun sedikit yang dapat menggambarkan kepedihan orang tua kehilangan anaknya, saking perihnya. Namun, jurang sedalam apapun bukan alasan untuk tidak kembali memanjat. Buya Hamkan bangkit kembali seraya membawa keluarga kecilnya ke Tanah Deli.
Dari situlah, banyak karya roman Buya Hamka diterbitkan. Dapat dilihat, selain pandai mengendalikan diri, karya Buya Hamka dimulai dari apa yang beliau sukai. Jikalau lebih menyukai roman, tulislah. Setelah itu, karya memukau lainnya akan mengalir seiring jam terbang penulis.
- ‘Bersekutu’ dengan Jepang
Tidak dapat dipungkiri gemelut juang dakwah Buya Hamka di Muhammadiyah. Di saat Jepang mengambil alih Indonesia, Buya Hamka menjadi penasehat dan orang kepercayaan Nakashima hingga diangkat menjadi salah satu anggota Syu Sangi Kai. Bukan tanpa alasan, melainkan untuk menjaga agar semangat dakwah tidak luntur lantaran kehadiran Jepang. Karena semua tempat, termasuk majalah yang Buya Hamka pimpin, ditutup paksa. Walaupun Buya Hamka punya jabatan penasehat, tapi tetap tidak memiliki kuasa mengubah apapun.
Dalam salah satu pidatonya tahun 1943 pada rapat umum di Esplanade yang tidak hanya dihadiri oleh masyarakat dari Medan, tapi juga seantero Sumatra Timur. Kalimat terakhir pidato beliau adalah “Hiduplah Dai Nippon, Hiduplah Islam. Amin.”. Buya Hamka menyadari bahwa ini adalah permainan berbahaya. Pada saat itu, beliau mendapatkan banyak kawan dan pengikut, sekaligus lawan dan musuh. Namun, dengan begitu setidaknya Buya Hamka masih diberi kesempatan untuk bisa mendirikan masjid dan bersafari dakwah ke ranting-ranting Muhammadiyah di Medan, sehingga semangat juang kaum Muslimin tidak padam.
- Berkawan dan Bersebrangan dengan Soekarno
Persahabatan Buya Hamka dan Soekarno terjalin sejak tulisan-tulisan Buya Hamka dibaca oleh Soekarno saat Soekarno di pengasingan Bengkulu. Bahkan, saat Buya Hamka akan kembali ke Medan tahun 1944 ketika ayah beliau sedang sakit, Haji Rasul, Buya Hamka diantar oleh keluarga dan teman-temannya sampai Stasiun Tanah Abang menuju Merak. Soekarno juga tiba-tiba datang ikut mengantar. Di situ, Buya Hamka berbisik kepada Soekarno, “Ayah kita, Bung.” Kemudian Soekarno balas, “jangan khawatir, Saudara.” Saya dapat membayangkan perasaan lega Buya Hamka mendengar jawaban Soekarno saat itu. Di tengah situasi Indonesia yang tidak pasti, namun dijamin oleh seseorang seperti Soekarno.
Kritik tajam Buya Hamka dalam tulisan-tulisannya kepada pemerintahan Soekarno lantaran terlalu banyak perbedaan politik antara Buya Hamka dan Soekarno, membuat majalah yang menerbitkan tulisannya disegel. Bahkan di tahun 1964, Buya Hamka pernah ditangkap dan dijebloskan di penjara. Menurut Buya Hamka, Soekarno begitu berwibawa sekaligus rendah hati di zaman revolusi, dan rasanya tak akan sampai Soekarno menjadi pemimpin yang totaliter.
Namun, ketika Soekarno wafat, Soekarno sendiri yang berpesan agar ketika ia wafat, Buya Hamka menjadi imam salat jenazahnya. Pikiran manusia pada umumnya tentu saja terdapat dendam pada orang lain yang telah membuinya. Tapi bagi Buya Hamka, memaafkan adalah jalan kemerdekaan dari dendam dan penyakit hati.
**
Tidak terasa, air mata saya kabur dari singgasananya ketika menamatkan novel ini. Seolah berdesir rasa takjub sekaligus haru melihat perjuangan Buya Hamka dalam kemerdekaan Indonesia dan dakwah Islam. Beliau tidak hanya cendikiawan, tetapi juga pejuang lapangan. Beliau tidak hanya pujangga, tetapi juga ulama.
Saya rasa, Ahmad Fuadi berhasil meramu kisah Buya Hamka dengan amat piawai dan tertata apik. Siapapun yang membacanya pasti mendapatkan pengalaman membaca yang memukau.
Leave a Reply