Kalian pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah Thrift Shop bukan? Yap, Thrift Shop merupakan pasar maupun toko yang menjual pakaian thrift atau bekas atau yang sudah pernah di pakai sebelumnya. Thrift bisa di sebut dengan penghematan, jadi dengan kalian berbelanja barang Thrift Shop, kalian berpartisipasi dalam mendukung penghematan maupun berpartisipasi dalam mengurangi penimbunan pakaian. Thrift shoping sekarang ini menjadi inceran belanja kegemaran warga kelas menengah maupun bawah. Apa konsekuensi adanya Thrift Shopping? Lantas bagaimana Internet dalam mengubah Thrift Shopping?
Keunikan dari Generasi Millenial dan Z
Berbagai laporan yang pernah saya baca dan temui, generasi milenial dan Z adalah generasi di mana mereka memiliki sifat yang global, memberi pengaruh pada budaya, dan memberi banyak pengaruh sikap terhadap masyarakat. Gen Z memanfatkan perubahan teknologi dalam kehidupan. Menurut beberapa artikel yang saya baca, gen Z dianggap terlalu sering nongkrong dan jalan-jalan tanpa bisa mengatur keuangan mereka. Namun, di sisi lain, mereka juga aktif terhadap isu yang sedang berkembang seperti sosial politik dan lingkungan. Kepekaan pemikiran mereka terhadap isu-isu ini salah satunya muncul yaitu dalam bentuk Thrift Shopping atau bisa disebut juga dengan berbelanja pakaian bekas.
Sebelum munculnya gawai pintar atau telepon seluler dan media sosial, thrifting sebenarnya telah muncul pada saat revolusi industri terjadi. Thrifting kembali naik pamor pada 60-80an berkat adanya Hippie. Era 1990-an, media sangat senang meliput gaya Kurt Cobain yang didapatkan dari hunting Goodwill di mana mereka memperkenalkan eskpresi queer lewat baju bekas. Pada tahun 2007-2009, perkembangan thrifting mulai terlihat, ini membuat banyak orang beralih ke thrifting alih-alih membeli baju baru dengan harga yang lebih murah. Hal ini menaikkan pamor baju bekas di mata publik, dan pada tahun-tahun tersebut industri baju bekas naik hingga 35%.
Thrift Shop pada Media Sosial
Internet menjadi suatu bagian yang tidak bisa dipisahkan lagi oleh kehidupan. Media sosial salah satunya, di mana media sosial mengambil alih peran mempermudah urusan manusia, misalnya saja produk Thrift Shop yang belakangan marak dijual secara online. Thrift Shop menjadi aktivitas mencari sandang yang melintasi kelas sosial ekonomi. Tradisi nge-trift sangat hidup di kalangan miskin kota maupun anak-anak muda zaman sekarang. Meski dipandang sisnis, gaya hidup ramah lingkungan yang diadopsi subkultur hipster seperti nge-thrift mulai diterima oleh kelas menegah. Thrift Shop memanfaatkan instagram, facebook maupun tiktok untuk mempromosikan dagangan mereka.
Gen milenial dan Z cenderung lebih suka berbelanja di Thrift Shop dikarenakan mereka mempunyai kesadaran lebih tentang efek konsumsi terhadap lingkungan. Serta, nge-thrift membantu perekonomian, khususnya pemuda ataupun mahasiswa. Seperti yang saya temui kemarin, terdapat mahasiswa di Yogyakarta lebih memilih nge-thrift karena menurut mereka lebih memberikan kepuasan pada diri mereka. Hal ini dikarenakan mereka mendapatkan barang yang seharusnya mahal, namun dibeli dengan harga yang lebih miring. Mereka yang ingin membeli baju dengan brand ternama namun tidak cukup biaya atau ingin hemat maka kebanyakan beralih dengan nge-thrift.
Kontroversi Thrifting
Naiknya pamor baju bekas menjadi perdebatan banyak kalangan, salah satunya bagi kelas menengah ke bawah. Ibaratkan pedang bermata dua. Hal ini dikarenakan dengan adanya Thrift Shop yang pada umumnya dikenalkan untuk masyarakat menengah ke bawah justru masyarakat dengan kelas sosial ke atas membeli properti di permukiman warga miskin. Akibatnya mereka malah membuka Thrift Shop dan menaikkan harga, sehingga tak lagi terjangkau oleh warga miskin. Banyak isu bertebaran bahwa penjual barang thrift justru menjual dangangan mereka secara daring dengan menaikkan harga. Penjual yang menaikkan harga berdalih bahwa mereka menaikkan harga merupakan “uang keringat” atau dari tenaga mereka seperti memilah baju bekas, membersihkan ulang, serta memasarkan produk.
Baca juga: Hubungan Literasi Keuangan dan Quarterlife Crisis
Penaikkan harga di Thrif Shop ini banyak dikritik oleh kalangan masyarakan. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan budaya nge-thrift itu sendiri, yaitu sandang dengan harga terjangkau. Banyak kritikus yang menyoroti kehadiran platfrom jual beli barang bekas seperti di instagram, facebook sebagai cara orang kelas menengah ke atas untuk mendapatkan keuntungan dari barang yang seharusnya bukan untuk mereka. Alhasil, thrifting menjadi komoditas pendulang untung.
Dalam situasi sekarang, kehadiran lapak Thrift Shop dengan harga “premium” sudah tidak bisa diutak-atik lagi. Masyarakat kelas menegah ke bawah meskipun ia bisa mengakses internet dan punya literasi digital yang baik. Tapi tetap kesulitan mendapatkan produk thrift yang ia inginkan ini dikarenakan harga produk dalam pasar thrift semakin sulit untuk dijangkau.
(Editor: Rifki Elindawati)
Leave a Reply