Hubungan Literasi Keuangan dan Quarterlife Crisis

Pernah gak nemu pertanyaan yang seharusnya sudah dapat dijawab kalau kamu paham literasi keuangan. Lebih-lebih ketika menghadapi fase quarterlife crisis. Seperti;  “Udah umur segini, tapi aku belum paham investasi.” “Emangnya nabung di bank sama reksadana itu beda, ya?” “Kok uangku cepat habis sih, padahal baru aja gajian.”

Keuangan inklusif di Indonesia saat ini sedang kembang pesat. Karena memiliki kaitan erat dengan kemiskinan dan fenomena sosial pada sektor keuangan. Meskipun, terdapat peningkatan tingkat inklusi keuangan dari tahun 2013 sebesar 59,74% menjadi 67,82% di tahun 2016. Pengetahuan tentang keuangan inklusif masih sangat rendah di masyarakat Indonesia.

Mengenal Literasi Keuangan

Menurut Robert T. Kiyosaki, kemampuan ‘melek’ keuangan adalah kemampuan dasar untuk membaca dan memahami laporan keuangan serta mengendalikan arus kas (cash flow). Setiap orang harus mengetahui bagaimana perencanaan keuangan dari pendapatan yang ia miliki.  Hal tersebut selain untuk mengetahui arus keluar masuknya uang yang kita miliki, juga untuk menghindari hal-hal tak terduga di masa yang akan datang.

Hal tak terduga ini di antaranya seperti pensiun dini atau terbelit utang. Banyak dari masyarakat Indonesia yang mulai sadar akan pentingnya perencanaan keuangan. Akan tetapi masih minim pengetahuan serta pemahaman bagaimana dalam merencanakan dan mengelola keuangan baik pribadi maupun rumah tangga.

Di tengah arus modernisasi seperti saat ini, tentunya kita dituntut untuk sadar dan cerdas dalam mengelola keuangan. Mengelola keuangan tidak hanya menuntut individu saja, tetapi juga dalam kasus rumah tangga. Dalam berumah tangga, faktor-faktor seperti latar belakang pendidikan, gender, penghasilan suami atau istri tentunya mempengaruhi pola pengelolaan keuangan. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bahwa nilai uang saat ini berbeda dengan nilai uang di masa yang akan datang.

Pentingnya Literasi Keuangan

Oliver Robinson dalam tulisannya yang berjudul How to Turn Your Quarterlife Crisis Into Quarterlife Catalyst pada tahun 2017, salah satu dosen senior dalam bidang psikologi di Greenwich University mengatakan bahwa 60% individu usia 25-35 tahun mengalami kesulitan dalam mengatur keuangannya, dan 30% lebih banyak melakukan lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan zaman sekarang, di mana belanja online sedang popular dengan beragam diskon dan potongan ongkos kirim.

Sehingga banyak anak muda yang tergoda untuk belanja online dengan dalih “mumpung lagi diskon, kapan lagi, yakaan,” ketimbang menabung dan investasi. Hal tersebut yang menyebabkan krisis keuangan dalam hidup mereka terjadi padahal usia sudah memasuki usia produktif di mana secara tidak langsung akan berpengaruh pula terhadap tingkat kesadaran masyarakat terhadap literasi keuangan. Bahkan terdapat penelitian yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara melek keuangan dan jalan hidup seseorang.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan, anak muda saat ini berisiko terkena masalah keuangan sebab kurang dibekali dengan literasi keuangan. Anak muda yang berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa cenderung mempunyai akses terhadap produk-produk keuangan yang ditawarkan, namun masih sedikit pemahaman yang mereka miliki.

Seorang pimpinan perusahaan multimedia swasta, Bapak Andy Nahil Gultom, menilai bahwa literasi keuangan sangat penting untuk generasi muda. Beliau menjelaskan bahwa pembahasan jasa keuangan memang sangat luas, namun yang paling penting untuk diberikan kepada anak muda saat ini ialah literasi keuangan. Sehingga mereka nantinya bisa merencanakan atau mengelola keuangannya. Karena generasi milenial dari kelas menengah yang produktif selalu dihadapkan dengan gaya hidup yang konsumtif sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik soal keuangan.

Quarterlife Crisis dan Literasi Keuangan

Pendidikan keuangan seharusnya sudah dilakukan sejak dini. Misalnya ketika di usia quarterlife seorang mahasiswa. Tidak banyak di antara mereka yang mampu dalam merencanakan dan mengelola keuangannya minimal untuk satu bulan, terhitung sejak awal bulan. Maka sering sekali kita mendengar banyak mahasiswa yang kere ketika akhir bulan, dan memilih untuk berdiam diri di kosnya agar tidak banyak mengeluarkan uang atau melakukan puasa daud.

Dalam lingkup Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari Malaysia dalam hal literasi keuangan. Walaupun memang tingkat menabung secara makro di Indonesia berada pada urutan 20 besar, Finlandia pun tertinggal jauh di angka 82 seluruh dunia. Namun tingkat kebahagiaan Negara Finlandia berada pada posisi pertama di dunia, sedangkan Indonesia jauh berada pada posisi 96.

Generasi muda khususnya pada usia quarterlife mengalami tantangan yang besar perihal mengatur keuangannya sendiri. Akan tetapi belum ada satu mata pelajaran atau pelatihan khusus yang massif dan dapat diikuti oleh anak muda untuk menunjang hal tersebut sejak Sekolah Dasar hingga lepas Perguruan Tinggi. Maka tidak jarang dari mereka merasa stress (bahkan depresi), sebab banyak dari mereka tertekan oleh pemikiran akan masa depan. Seperti bagaimana mencari pekerjaan, bagaimana membeli rumah, jenjang karir, dan lain-lain yang diawali dari kurangnya pemahaman mengenai kesadaran literasi keuangan.

*artikel ini sudah pernah dipublikasikan di rahma.id dengan judul yang sama

Alfina Rahmatia
Lagi lanjut studi S3 di Turki bareng suami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *