Tuntutan hidup sebagai mahasiswa selain untuk memperoleh IPK tertinggi, aktif dalam berorganisasi, mengikuti perlombaan hingga bekerja sampingan, membuat kondisi tetap tenang walau tidak baik-baik saja terpaksa dialami mahasiswa karena terbentuk oleh keadaan. Terlebih lagi saat kita ingin berisitrahat melihat sosial media, bukannya membuat refresh pikiran tetapi membuat pikiran semakin kemana-mana karena melihat update pencapaian-pencapaian orang lain yang telihat baik-baik saja, padahal nyatanya hidup tak semulus itu.
Mengenal Duck Syndrome
Why is It Called Duck Syndrome? Ketika melihat bebek berenang diatas air, tampaknya bebek itu berenang bebas dan mengarunginya dengan tenang. Pada kenyataannya di balik ketenangan bebek itu untuk mencapai tujuannya, sebenarnya bebek itu berusaha mengerahkan seluruh tenaganya unutuk mempertahankan dirinya agar tidak terbawa arus. Itulah kenapa dinamakan sindrom bebek.
Apakah kamu pernah merasakan hal itu? Terlihat tenang tanpa tekanan, seperti hidup berjalan mulus, dan yang kamu inginkan terlihat dengan mudahnya tercapai. Padahal jalan yang kamu lalui berat dengan perjuangan dan usaha kerasa untuk bertahan di segela situasi. Kamu tidak menunjukan perjuanganmu di depan orang-orang karena overthinking, kamu tidak mau mereka tahu jika terjadi kegagalan. Duck syndrome adalah istilah yang menggambarkan keadaan tersebut, di mana seseorang terlihat tenang dan baik-baik saja dari luar, padahal kenyataannya mengalami banyak tekanan dan masalah.
Duck syndrome merupakan istilah yang pertama kali di perkenalkan oleh Stanford University. Hal ini berguna untuk menggambarkan kondisi mahasiswa di Stanford yang terlihat santai dan tenang, padahal para mahasiswa tersebut memiliki banyak tuntutan serta tekanan. Hingga 87% mahasiswa Stanford merasakan mereka kewalahan dengan tanggung jawabnya sampai hal ini banyak dikenal dengan Stanford Duck Syndrome.
Tanda dan Gejala Duck Syndrome
Tidak ada kriteria diagnosa formal untuk kondisi duck syndrome ini, sehingga duck syndrome tidak termasuk dalam gangguan mental. Banyak variasi tanda dan gejala namun ada beberapa kesamaan yang dialami oleh penderita duck syndrome. Tanda dan gejala duck syndrome meliputi:
- Tuntutan yang tinggi kepada diri sendiri baik dalam hal akademik maupun non akademik, membuat kewalahan seolah semua diluar kendali.
- Selalu membandingkan diri dengan orang lain serta merasa orang lain selalu lebih baik daripada diri sendiri.
- Merasa gagal memenuhi tuntutan hidup.
- Takut akan pengawasan dan kritik.
- Merasa seperti orang lain memanipulasi situasi untuk menguji kinerja.
Dari sisi kognitif, orang yang mengalami duck syndrome lebih mudah gugup dan khawatir. Ambisi untuk mencapai target yang tinggi menjadikan orang itu pelupa dan sulit berkonsentrasi, hal ini berpengaruh akan kondisi fisik yang mengakibatkan kebiasaan tidur dan pola makan terganggu sehingga mudah lelah karena energi terkuras oleh pikiran. Selain tanda dan gejala tersebut, ada faktor yang meningkatkan risiko terkena duck syndrome.
Faktor Peningkatan Risiko Duck Syndrome
Pola Asuh
Keluarga merupakan tempat belajar pertama, hal ini berpengaruh terhadap peningkatan risiko terkena duck syndrome jika pola asuh dari orang tua yang menuntut anak selalu mencapai hasil tertinggi. Sehingga anak cenderung terlihat baik-baik saja, padahal ia sekuat tenaga mewujudkan ekpektasi orang tuanya, dan tidak berani mengeluh atas proses yang ia lalui karena target yang tinggi tersebut. Sehingga anak terbiasa memanipulasi diri yang menyebabkan duck syndrome ini akan muncul.
Self-esteem Rendah
Self-esteem merupakan pikiran, erasaan dan cara pandang seseorang atas diri mereka sendiri. Memiliki self-esteem yang rendah membuat seseorang akan memandang dirinya serba kekurangan dan tidak berharga karena mengalami kesulitan memahami dirinya sendiri.
Perfeksionis
Karakter perfeksionis ini tidak lepas dari faktor pola asuh, menyebabkan anak terbawa ketika ia menjadi mahasiswa selalu berusaha untuk mempunyai standar tertinggi mengejar kesempurnaan. Hingga sering kita mendengar “zero mistake” padahal tidak apa-apa membuat kesalahan karena dari kesalahan itu tempat belajar kita.
Ekspektasi Eksternal yang Tinggi
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap hidup seseorang. Terlebih lagi jika berada di lingkungan yang ambisius atau high-achieving environment. Membuat orang berusaha keras memenuhi ekspektasi tinggi dari lingkungannya, dengan bersikap seolah semuanya baik-baik saja berjalan lancar, padahal proses dibelakangnya juga merasakan cemas jika terjadi kegagalan.
Baca juga: Ketakutan, Waktu, dan Masa Depan
Tuntutan Akademik
Pentingnya mengenal diri sendiri terlebih dahulu agar tuntutan akademik tidak memberatkan diri, karena jika sudah memiliki self-awareness yang tinggi seseorang akan bekerja sesuai kapasitasnya, dan tidak ada yang namanya salah jurusan karena tidak sesuai minat dan bakat.
Sosial Media
Dunia media sosial yang acap kali menampilkan kesempurnaan hidup memicu cara pandang melihat hidup orang lain terlihat sempurna serta jalan yang dilalui mulus tanpa kesulitan. Membuat kita terbuai bahwa kita juga harus seperti mereka yang hanya menampilkan kesenangannya tanpa tahu proses kesulitan dibaliknya.
Faktor-faktor ini jika diabaikan dapat memicu gangguan kesehatan mental yang mendasari duck syndrome seperti depresi, kecemasan, dan gangguan kesehatan mental lain.
Bagaimana Mendukung Mahasiswa yang Mengalami Duck Syndrome?
Peran dari orang tua, keluarga, teman sebaya, hingga civitas akademika berpengaruh besar terhadap mahasiswa, dengan cara-cara seperti berikut ini:
- Berdialog Mendiskusikan Kesehatan Mental
Langkah pertama menunjukan kepedulian dengan menanyakan tentang kondisi mentalnya dan membantu untuk mencari bantuan professional jika diperlukan, jangan sampai mahasiswa tersebut melakukan self-diagnose.
- Menjaga Koneksi
Mahasiswa yang mengalami duck syndrome cenderung merasa kesepian. Mempunyai relasi dengan orang lain bisa jadi merupakan sebuah kesulitan, sehingga kita bisa membantu untuk mendorong mahasiswa terhubung dengan teman sebaya, kelompok, dan komunitasnya agar mengurangi rasa kesepian itu.
- Mendukung Hobi
Peran orang tua dan keluarga alam mendukung hobi seorang mahasiswa sangatlah penting. Mencoba untuk mendengarkan apa aktivitas yang sesuai minat dan bakat mahasiswa, membuat mahasiswa merasa didengarkan dan membantu menemukan kegiatan pelepas penat.
- Pemanfaatan Penggunaan Sumber Daya Akademik
Peran civitas akademika untuk menyediakan fasilitas serta bantuan untuk konseling sangatlah penting, dikarenakan hal ini membuat mahasiwa merasa terfasilitasi baik secara akademik dan kesehatan mental di universitas.
Leave a Reply