Di Perlintasan Jalan: Ideologi Menjadi Sebatas Imagologi

Manusia membangun sebuah kelompok agar tetap kuat dan kokoh dalam menjalin kehidupan. Saling membantu sebagai bentuk empati dan simpatinya. Bertemu, menyapa, mengobrol layaknya keluarga yang harmonis membangun kasih sayang dan saling menguatkan.

Ya, dunia ini seperti sebuah keluarga dan semua orang yang berada di dalamnya adalah anggota keluarga tersebut. Namun, pada dasarnya manusia hidup dipenuhi dengan berbagai pertentangan. Perlintasan jalan selalu membawa berbagai pertanyaan bodoh mulai dari apa ia? Darimana ia? Kenapa ia? Dan bagaimana ia?

Realitas Kehidupan

Perbedaan pandangan menjadi hal lumrah, akan tetapi hal ini sering kali mengacu pada konflik yang merujuk kepada kecemasan yang dibangun atas praduga pikiran. Anlisis realita kerap kali campur-aduk sehingga hanya menciptakan kebingungan. Pendekatan penyelesaian di dasari oleh sejarah kehidupan, sehingga apa saja yang dianggap benar ialah apa yang ia alami. Perang kepentingan menjadi berita duka yang sering kali disiarkan di saluran televisi, koran, hingga media soisal.

Penafsiran dan penentuan makna-makna yang berada pada realitas diri maupun di luar diri menjadi modalitasnya sekaligus aspek kebebasan yang ia miliki bahkan sejak lahir. Berbagi kalimat disampaikan para pemikir mengenai hak-hak yang melekat sejak lahir menghantarkan pada berbagai kesimpulan yang dianggap benar.

Pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang memajukan pertumbuhan rasionalitas atas dunia dan relasi-relasi sejarah. Namun seberapa jauh pengetahuan memihak kepada kemanusian? Kemajuan pengetahuan dapat dilihat dari bagaiamana kesetiaannya terhadap kemanusiaan karena dengan itu kita dapat mengukurnya. Sebaliknya, kemunduran pengetahuan dapat dilihat sejauh pengetahuan menjadi cara berpikir yang menindas manusia. Tentu pada saat yang bersamaan akal budi menjadi pasangan terbaik dari kemanusian sebagai tempat menemukan gerak sejarah yang melibatkan seluruh manusia.

“Dari dan dengan kemanusiaan kita mengukur gerak sejarah dan ideologi serta pengetahuan yang dilahirkannya.”

Praktik Kapitalisasi Pendidikan

Kesadaran akan bentuk ketertindasan membawa pemahaman betapa sistem menghantarkan rakyat pada kemiskinan, kebodohan, dan kesengsaraan. Tipu daya yang dilakukan demi melanggengkan kekuasaan dan menambah kekayaan serta pengetahuan semu yang terus menidurkan kesadaran dan menjauh rakyat dari hak dan kedaulatannya.

Praktik pendidikan yang dipahami sebatas pewarisan ilmu serta ketidakpedulian dan ketidakmampuan dalam mengkritisi realitas sosial semakin mengasingkannya dari kondisi-situasi realitas sosial. Terlebih, praktik kapitalisasi pendidikan memparah dan mengkaburkan cita-cita pendidikan itu sendiri. Ditambah sejauh jejalan Positivime Kelenik menghasilkan intelektual yang apatis dan sikap tak mau peduli yang semakin menyuburkan lahan penindasan.

Baca juga: Barisan Kucing-kucing Air Senayan

Praktik kekuasaan yang tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat. Keberhasilan orde baru mencitrakan modernisasi lewat berbagai model indoktrinasi telah membuat semua orang mereduksi pengertiannya tentang ideologi menjadi sebatas imagologi. Sejarah yang berkuasa dan pertumbuhan modernism, kapitalisme, sosialisme dan lain-lain semestinya tidak menyempitkan pikiran dengan batasan kaku tentang sejarah akan digerakkan.

 “Tidak ada manusia yang lebih manusia dari manusia lainnya.”

Penutup

Kondisi tidak manusiawi telah dialami segolongan manusia dan segolongan lainya mengalami kondisi yang manusiawi. Petani yang tidak punya tanah untuk bertani, nelayan yang lautnya dirusak, buruh dengan upah yang rendah dan sebagainya mempengaruhi kondisi-situasi hidup rakyat dan menjauhkan rakyat dari kedaulatan-kesejahteraannya.

“Kadang di atas kadang di bawah” menjadi ungkapan yang tidak tepat diucapkan ketika berhadapan dengan kekuasaan. Dengan segala cara pelanggengan kekuasaan itu terus dilakukan. Pelanggengan-penundukan itu dilakukan lewat berbagai alat seperti media, pendidikan, apparatur dan regulasi. Sehingga kedaulatan dan kesejahteraan hanyalah kata yang dijadikan bumbu untuk dinikmati rakyat.

Chevin Bhanu Aryaseta
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *