Bersama Kemajuan, Ada Perempuan (Selayang Pandang Peradaban Tanggap Gender)

Peradaban bermula ketika manusia mulai menggunakan akal budi dan nuraninya. Peradaban meniscayakan kemajuan yang bermuara pada kemakmuran. Sehingga sejauh mana manusia dapat maju, itu tergantung seberapa baik ia dalam mempergunakan pikiran dan hatinya. Dalam hal ini, objek peradaban dapat bersifat material dan non-material. Contoh objek peradaban material yang dapat ditangkap indera meliputi arsitektur, gastronomi, moda berpakaian dan lain-lain. Sedangkan hukum, nilai dan norma sosial, tata kelola pemerintahan, dan sebagainya merupakan contoh objek peradaban non-material yang tidak kentara. Telah menjadi karunia tersendiri dari Tuhan bahwasanya kemampuan membangun peradaban seyogianya memang seperti sudah terpatri pada DNA manusia. Baik itu laki-laki maupun perempuan.

Gender Merupakan Konstruksi Sosial

Seiring berkembangnya zaman, cara pandang manusia semakin kompleks yang mana salah satu produk perkembangan paradigmatis ini adalah adanya gagasan tentang gender. Gender adalah konstruksi sosial berupa pembagian antara aspek feminim dan maskulin dari diri manusia. Nuansa keibuan, kelembutan, belas kasih, yin (阴), dan lain-lain adalah ciri-ciri dari sisi feminimitas yang akrab dengan perempuan. Sementara itu, maskulinitas yang identik dengan laki-laki merupakan sisi yang mencirikan karakter seperti kebapakan, kekuatan, kekuasaan, yang (阳), dan sebagainya. Konstruksi gender semacam ini ternyata berimplikasi pada kecenderungan hakiki manusia untuk membangun peradaban.

Dewasa, ini salah satu problematika pembangunan berkelanjutan yang tengah dihadapi masyarakat global adalah ketidaksetaraan gender. Tren dari isu ini ternyata lebih banyak menunjukkan pola dominasi maskulinitas atas feminimitas. Situasi problematik semacam ini sering orang identifikasi sebagai patriarkisme dan toxic masculinity. Keadaan tersebut tak jarang menimbulkan kemunduran atau bahkan kehancuran peradaban yang mana dalam kelompok yang sering menimbulkan kemunduran itu (gerakan ekstremis-teroris dan kelompok kriminal bersenjata). Sulit ditemui figur atau tokoh perempuan yang berperan sentral. Tak khayal jika Ralph Waldo Emerson mengatakan bahwa ukuran yang mencukupi dari sebuah peradaban maju adalah pengaruh dari masyarakat perempuan yang baik.

Sebagai respon terhadap persoalan di atas, upaya untuk mewujudkan gagasan peradaban tanggap gender memiliki urgensi tersendiri. Peradaban tanggap gender adalah kemajuan lahir batin yang mengedepankan kesetaraan pengaruh sisi feminim dan maskulin. Di tengah dominasi maskulinitas, membangun peradaban tanggap gender berarti memberikan ruang bagi feminimitas untuk berkembang dengan baik. Hal ini dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan dan memberdayakan perempuan termasuk dalam urusan tata kelola masyarakat dan pemerintahan. Sehingga mendorong mereka untuk mengerahkan potensi kepemimpinannya dalam proses pembuatan keputusan. Serta potensi pemecahan masalah yang menyangkut hajat hidup bersama suatu komunitas. Pelibatan perempuan dalam hal ini perlu diusahakan pada berbagai lingkup atau tingkatan masyarakat.

Baca Juga: Gaya Hidup Minimalis Bukanlah Hal yang Baru

Di Indonesia, terdapat contoh wujud peradaban tanggap gender yang baik pada lingkup perkotaan, yakni masyarakat di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pemerintah Kota Semarang melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) telah memberlakukan kebijakan musyawarah rencana pembangunan (MUSREMBANG). Dalam hal ini mendorong keterlibatan aktif perempuan, yakni inisiatif Sang Puan (Sayang Perempuan & Anak). Secara konvensional, musrenbang yang pertama kali dilaksanakan adalah pada tingkat kelurahan yang umumnya hanya dihadiri oleh kalangan bapak-bapak sehingga aspirasi yang disampaikan kebanyakan sebatas menyangkut urusan pembangunan infrastruktur seperti perbaikan jalan atau semacamnya.

Inisiatif Sang Puan sendiri merupakan mekanisme pra-musrenbang yang dilaksanakan sebelum musrenbang tingkat kelurahan. Guna memfasilitasi masyarakat perempuan dan kelompok marjinal lainnya (anak, difabel, dan lansia) untuk menyalurkan aspirasi publik yang berhubungan dengan hajat hidup mereka sendiri. Dengan adanya Sang Puan, aspirasi masyarakat Kota Semarang pun juga melingkupi pengembangan program-program seperti pemberdayaan perempuan pelaku usaha ultra mikro, pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganggaran responsif gender, penyediaan fasilitas area ibu menyusui, dan aspirasi inovatif lainnya.

Perspektif Peradaban Gender Negara-Negara Nordik

Pada tingkat negara-bangsa, negara-negara Nordik merupakan contoh yang baik peradaban tanggap gender. Menurut data dalam Global Gender Gap Report yang diterbitkan World Economic Forum (WEF) pada Juni 2023; Islandia, Norwegia, Finlandia, dan Swedia yang memasuki jajaran lima besar teratas negara paling setara gender. Dalam laporan tersebut, tinggi-rendahnya skor tingkat kesetaraan gender berpengaruh satu sama lain terhadap skor pada sub-aspek lainnya, yakni partisipasi, peluang ekonomi, capaian pendidikan, kesehatan, harapan hidup, dan pemberdayaan politik. Tingginya skor tingkat kesetaraan gender negara-negara Nordik itu pun berimplikasi positif terhadap skor pada keempat sub-aspek lain tersebut. Dapat dikatakan bahwa target-target pembangunan berkelanjutan akan sulit dicapai apabila separuh populasi suatu negara, dalam hal ini perempuan dibatasi ruang partisipasinya.

Membangun peradaban tanggap gender tidak sama dengan mengesampingkan maskulinitas dan peran laki-laki sehingga menjadikan feminimitas lebih mendominasi. Itu sama-sama berakibat pada kemunduran peradaban, tetapi dalam bentuk problematika yang berbeda. Bila patriarkisme dan toxic masculinity pada tingkat parah dapat mengakibatkan kehancuran peradaban, maka matriarkisme dan toxic feminimity pada level ekstrem dapat menyebabkan stagnasi peradaban. Tentunya akan membuatnya terdegradasi secara perlahan sebagaimana kata Camile Paglia bahwasanya “Jika peradaban diserahkan (seluruhnya) pada perempuan maka kita (mungkin) masih hidup di gubuk rumput.”

Mengupayakan peradaban tanggap gender berarti memperjuangkan kesetaraan gender karena sejatinya feminimitas dan maskulinitas adalah dua sisi dari satu koin yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Ungkapan “Bersama Kemajuan, Ada Perempuan” hanyalah seruan pada kesetaraan gender di tengah mainstream tren masyarakat yang patriarkis. WEF memperkirakan bahwa untuk menutup celah ketidaksetaraan gender global secara penuh akan memakan waktu selama 135.6 tahun sehingga membangun peradaban tanggap gender yang utuh perlu direalisasikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.

CATATAN: Karya ini termasuk dalam 10 terbaik dari Lomba Menulis Artikel Populer Narasi Nara Tahun 2023

(Editor: Moh Andy Iqbal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *