Sebetulnya ada dua unsur dominan yang membentuk karakter manusia, pertama adalah akal atau logika, dan yang kedua adalah hati atau perasaan. Tetapi dalam kasus-kasus kebanyakan kaum Gen Z dalam berbagai persoalan hidup, hati lebih mendominasi daripada logika, karena ia adalah “hamba” esensialis. Ini beda karakternya sama kaum filosofis yang menta’thilkan atau menegasikan hati dan lebih mengutamakan logika, sebab ia menghamba pada rasionalitas/eksistensialis.
Meskipun konon sebetulnyalah hati yang menjadi pusat pemikiran. Karena narasinara.id adalah platform yang basisnya kaum muda, maka sejenak logika disimpan di saku terlebih dahulu, supaya besok-besok bisa diambil dan bisa digunakan untuk berpikir jernih kembali pada ruang dan waktu yang tepat. Kita bicara hati sekarang.
Bicara Kata-kata
Hendaknya, kata-kata dengan hati dan hati-hati dengan kata-kata. Segumpal hati yang mungil itu, letaknya di dalam dada yang tidak kasat mata. Ia tidak terlihat oleh seseorang, tetapi ia mampu melihat apapun. Hati yang kecil itu mampu menampung segunung masalah, dan hati yang jernih akan merepresentasikan kata-kata yang indah nan sejuk. Seperti air segar yang mengalir, yang mana setiap percikan katanya adalah obat, setiap kata yang tertuang adalah ketenangan.
Tak heran ada adagium “ikuti kata hati” begitu nasihat kebanyakan orang yang sering kita dengar. Saya jadi teringat dengan apa yang disabdakan Baginda Muhammad Saw soal hati, kata beliau, “istafti qalbak” mintalah fatwa pada hatimu sekalipun orang-orang telah memberimu fatwa (arahan atau nasihat).
Fatwa sebagai sebuah nasihat yang logis dan realistis atas problem sosial tampaknya tidak mendapat perhatian lebih bagi kalangan Gen Z. Ini bisa jadi disebabkan atas kesadaran logika idealisme yang belum terbangun dengan apik, dan karena kita masih mengekor pada azas emosional. Padahal minta fatwa, meminta pertimbangan untuk menemukan satu hal terbaik di antara yang baik adalah begitu penting untuk menentukan langkah apa yang kita ambil ke depannya. Satu langkah kecilnya adalah bisa dengan “ngobrol” yakni mengutarakan isi hati dengan kata-kata sehingga mampu mengeluarkan seluruh ekspresi negatif maupun positif dalam hati kita. Sebab katanya, apa yang diobrolkan dari hati, akan sampai kepada hati pula.
Kondisi Hati
Luasnya hati dan apalagi hati yang jernih dan dipenuhi cahaya, ia akan menghadang dan mengurai setiap keluh kesah laiknya danau yang menelan asinnya garam. Dalam terminologi Islam, hati adalah rumah bagi moralitas, spiritualitas, emosi dan titik pusat keyakinannya pada Tuhan. Sehingga bukan hati yang dibalut oleh fisik tetapi fisiknya-lah yang pada dasarnya dibalut oleh keadaan hati.
Dalam ranah aplikatif kondisi hati seseorang terbagi menjadi beberapa kategori. Pertama, apa yang disebut sebagai hati yang selamat (qalbun salim) karena konsistenkan kontinyu berdzikir dan berperasangka baik pada hukum alam dan segala realitasnya. Kedua adalah jenis hati yang berpenyakit, sebab ia menolak eksistensi penggerak pertama (wajibul wujud), menolak kebenaran dan membanggakan dirinya melebihi siapapun.
Tentang Manusia
Manusia dengan segala keunikannya, tak jarang ia juga disebut sebagai homo politicus. Artinya, ia sangat alot ketika bernegosiasi antara hati dan kata-kata. Sebagaimana yang disinggung oleh Nikita Sergeyevich Khrushchev, pemimpin Uni Soviet pada masa itu, mengatakan, “Semua politisi – manusia yang berpolitik, meskipun mungkin ada pengecualian – sama saja. Mereka menjanjikan untuk membangun jembatan meskipun di tempat itu tidak ada sungai.” Secara tidak langsung kata-kata mereka sedang diperdaya oleh hatinya.
Hati menginginkan ke barat, sedangkan mulut mengarahkan sebaliknya. Tentu masalah bukan pada persoalan menjadi politis atau tidak, menjadi elit atau tidak. Tetapi menjadi apapun, kejujuran hati dan kata-kata harus mendapat tempat yang istimewa. Saya rasa ini adalah satu hal yang akan tetap menjaga kemanusiaan kita, dan kita melakukannya atas nama hamba. Sebab Tuhan memerintahkan pada manusia untuk “wajtanibu qoula azzur” menjauhi perkataan dusta, yakni berucap tetapi melemparkan hati ke belakang.
Baca juga: Gaya Hidup Minimalis Bukanlah Hal Baru
Manusia memiliki kompleksitasnya sendiri-sendiri, begitupun hati dan kata-kata memiliki ambiguitasnya juga. Seperti yang sudah disinggung di awal, bahwa kata-kata adalah representatif (pancaran) dari apa yang ada di dalam hati. Tetapi tak jarang kata-kata dimanipulasi sedemikian rupa untuk menutupi keadaan hati yang sebenarnya. Biar kondisi hatinya yang galau, yang sedih, yang jahat tidak diketahui. Maka ia menggunakan kata-katanya untuk memberi kesan baik. Tetapi balik lagi bahwa semua tergantung pada hatinya, bukan kata-katanya.
Manusia, Hati, dan Kata-kata
Manusia dengan kata-katanya ia bisa dihormati, dengan kata-katanya pula manusia bisa dibenci. Benang putihnya adalah harusnya manusia bisa mengkompromikan antara hati dan kata-katanya supaya bijak dalam bertindak. Keselarasan hati dan kata-kata akan mampu menggetarkan langit dan meruntuhkan gunung.
Rasulullah saw selalu bermunajat kepada Allah, “Ya Allah terangilah hati-hati kami dengan cahaya petunjuk-Mu, seperti Engkau menyinari alam semesta ini selamanya dengan sang surya dan rahmat-Mu”. Karena hati menjadi parameter dan inisiator atas sikap dan perilaku seseorang. Setiap sesuatu diterima menurut karakter seseorang, dan setiap emosi akan mempengaruhi bagaimana ia bersikap dan bertindak, yang saya rasa ada peran hati yang dominan di sana.
Leave a Reply