Anak SD Belajar Saham: Mendidik atau Menjerumuskan (?)

Setelah rusuh desah desuh di akhir tahun perihal kenaikan PPN hingga menyentuh angka 12%, di awal tahun ini lagi-lagi muncul pernyataan sensasional dari Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, yang mengusulkan agar anak Sekolah Dasar (SD) mulai belajar saham. Di tengah polemik literasi keuangan yang masih minim di kalangan masyarakat dewasa, ide ini justru melompat terlampau jauh ke depan. Saham bukan seperti main monopoli. Saham adalah dunia yang kompleks, penuh risiko, dan sarat akan spekulasi.

Saham juga bukan sekadar permainan angka yang bisa dipahami hanya dengan menghapal definisi. Di baliknya, ada risiko besar, analisis pasar, dan bahkan volatilitas global yang melibatkan emosi serta keputusan strategis. Anak SD yang baru belajar operasi hitung dasar atau mengenal nilai uang belum tentu mampu memahami konsep risiko, diversifikasi, atau bagaimana harga saham dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi dan gejolak dunia.

Bahkan pengendalian diri berupa kecerdasan emosional anak SD belum saatnya menghadapi dunia saham, orang dewasa saja masih banyak yang gagal dan kesulitan mengatur dirinya hingga berujung pada kebangkrutan dan lorong keserakahan. Lah ini malah ngide bikin kurikulum pasar modal untuk anak SD. Hadeuh~

Sejatinya, anak-anak lebih membutuhkan pengetahuan keuangan dasar sebelum dijejali pembelajaran tentang saham. Misal; mengenal konsep hemat, pentingnya menabung, membedakan kebutuhan dan keinginan, serta berbagi dan memberi arti. Pelajaran ini jauh lebih dekat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Karena di usia dini, memiliki keterampilan manajemen keuangan yang baik adalah lebih penting daripada investasi saham. Misal, mengelola uang saku dan membuat daftar belanja, mendorong anak-anak untuk menabung untuk membeli mainan favorit mereka.

Baca juga: Mindful Spending Untuk Kamu yang Suka Kalap

Anak-anak di usia SD berada di tahap kognitif untuk memahami hal-hal konkret daripada abstrak seperti fluktuasi harga saham. Kalau anak-anak memiliki pemahaman dasar tentang keuangan, hal ini dapat membantu mereka belajar mengelola uang dengan lebih bijak seraya beranjak dewasa.

“Belajar Saham Bagi Anak SD Bukanlah Inovasi Melainkan Eksploitasi”

Meminta anak SD belajar saham tanpa memastikan kesiapan mental dan logika keuangan mereka seperti mengorbankan mereka kepada penguasa yang disebut kapitalisme. Gagasan dari Sri Mulyani ini memang terlihat inovatif, tetapi bisa jadi hanya eksploitasi terselubung. Apakah ini upaya untuk mencetak investor baru sejak dini, atau hanya sekadar gagasan bombastis tanpa arah yang jelas dan melupakan fondasi awal?

Saham dengan segala risiko dan kompleksitasnya adalah dunia orang dewasa. Alih-alih mendidik anak SD menjadi investor, kita justru berisiko menciptakan generasi yang lebih konsumtif dan spekulatif.

Baca juga: Hubungan Literasi Keuangan dan Quarterlife Crisis

Daripada menyuruh anak SD belajar saham, lebih baik kita fokus pada penguatan literasi dan manajemen keuangan sejak dini. Lihat ada berapa banyak masyarakat Indonesai terlilit pinjaman daring, daya beli masyarakat yang konsumtif, terjebak kredit macet, ditipu tukang asuransi, dan lain-lain. Itu karena tidak ada kurikulum tentang literasi dan manajemen keuangan di setiap jenjang pendidikan di negara ini. Padahal setiap hari masyarakat kita pegang uang, tidak lepas dari uang.

Oleh sebab itu, negara tidak boleh membiarkan anak-anak tenggelam di ‘samudra’ saham tanpa pelampung berupa pengetahuan dasar keuangan. Sama seperti belajar berenang, anak-anak butuh kolam kecil untuk berlatih, bukan langsung dilempar ke laut lepas.

Pendidikan keuangan di usia dini itu penting, sangat penting. Tetapi harus tepat sasaran dan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Kalau tidak, kita bukan hanya gagal mendidik, tetapi juga berpotensi menjerumuskan generasi penerus bangsa.

Alfina Rahmatia
Lagi lanjut studi S3 di Turki bareng suami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *